Senin, 09 Juli 2012

SAHABAT SEJATI

SAHABAT SEJATI
Cerpen Sahabat Pena

“ Nis,tungguin gue,dengerin penjelasan gue dulu!”Teriak Nani sahabakku.”Mau jelasin apa lagi kmu udah jelas semuanya nan,udah jelas.”
Balazku ketus. Ceitanya begini .
Waktu itu aku sindirian,aku menuju ke Taman sekolah sambil baca novel,truz aku lihat Nani  ma Dinda dan Sari sedang ngobrol. Awalnya aku pengen sapa Nani tapi terlanjur dia bilang pada Dinda dan Sari “ Gue itu jadi sahabat nisa coz gue pengen merebut apa yang ia pux.”Kata Nani “Maksud loe .”Tanya Sari “
Gue itu sebenarnya benci banget ma nisa ,gue jadi sobatnya supaya gue bsa manfaitin dia!dia kan anaknya lembek”Jawab Nani smbil tertawa ,diikuti dgn Dinda dan Sari. Gue langusung samperin Nani “Tega loe ya Nan,gue benci loe,gue benci”Kataku sambil menetezkan air mata dan pergi dari tempat itu. 
****

Pulang sekolah aku pun menuju Danau .Karena pada waktu gue lagi sedih gue langsung ke Danau .
“ Kenapa ,Nin loe tega banget ma gue .Gue itu sayang banget ma loe dan gue udah anggap sebagai kakak kandung loe,tapi kenapa loe kecewain aku,kenapa nis,kenpa ,apa salahku,gue kecewa ma loe........
”Teriak ku diikuti oleh hujan deras. “Lo pernah bilang ma gue kalo kita akan jaga perasaan satu sama lain dan  tak kan pernah nyakitin hati,tapi kenapa janji itu lo ingkari.........KENAPA
”Teriakku sambil menangis di Danau itu.  
 ******
“Assalamualaikum”Salam ku msuk rumah mungil ku sambil membuka pintu.
“ Waalaikum salam,Ya Allah Nisa kamu kenapa kok baju kamu basah semua”Jawab Mamaku khawatir. “Anu ma nisa tadi kehujanan waktu pulang sekolah”Jawabku lemas. “Ya,udah sana mandi truz makan”Perintah Mamaku. “Iya ma”Jawabku singkat. 
****

Setelah Mandi dan sarapan aku pun langsung masuk kamar,tiba2 ada sms masuk ternyata dari Nani. “Maafin gue ya Nis,gue gag maksud nyakitin hati loe”Isi dari mz itu.dan ku lz .
“Truz napa tadi loe bilang gitu,kenapa Nan?”Tanyaku. “Gue bicara gitu karena terpaksa nis,gue emang gag bisa ngomong sekarang tapi suatu saat loe taw kenapa aku tadi bilang gtu”Lzsan dari Nani.Tapi aku hanya bisa menagis dan menangiz.  
***

Keesoakn harinya aku berangkat sekolah dan mencoba utk menghilangkan masalah itu.Tapi tiba2 gue ketemu sama Dinda dan Sari,tapi aku tetep jalan. “Kasian banget sich loe,sedih ya gag pux temen!”Ejek mereka.Tapi pembicaraan merekan sama sekali tak kudengarkan dan kuladeni,aku tetep menuju kls.Tapi hari ini gue mlez bngt ke sekolah coz gue gg mau ketemu sama Nani tapi gimana lagi dia sekelas denganku.  
****

Sampai dikelas gue sama sekali gag melihat Nani ditmp duduknya.
“Lo Nani kok gag ada ceh,Enggak gue gag mau peduliin dia lgi”Batinku.
“Pagi niz,loe kamu kok masuk sekolah sich”Tanya Temenku yang  bernama Sarah. “Loh,emangnya gue gag bloh masuk sekolah ,gtu !”Jawabku.
“Low,kok elo bicara gtu,gue kn heran ma loe,mzk Nani mzuk Rumah Sakit gag loe jenguk sich,loe sobat dia bukan ceh”Jawab Sarah.
“APA ,Nani mzuk Rumah Sakit!!Rumah Sakit mana”Tanya ku pada Sarah. “Kok,elo gag taw sich Nani kan lgi sakit!Katanya dia sekarang lgi di Rumah Sakit Harapan”Jelas Sarah. “Makasih ya sar,gue ksana dulu,ijinin ke Ibu guru klo gue gi jenguk Nani”Kataku sambil pergi dari sekolah menuju rumah sakit.
******

Setelah msuk rumah sakit ,aku pun langsung menuju kamar Nani. “Assalamualaikum”Kataku sambil membuka pintu.
“Waalaikum salam,eh Nisa!silahkan masuk niz”Jawab Nani lemas.Melihat kondisi Nani aku pun merasa bersalah ma dia.
“Nan,maadin gue yah coal kemaren”Pintaku pada Nani. “Ya,gag papa kok lagian ini juga salah gue kok”Jwb Nani. “Nan,lo kok bsa mzuk rumah sakit ceh?”Tanyaku pada Nani.
“Cory,ya Niz gue gag pernah cerita ke elo soal penyakit gue”Jawab Nani.
“APA PENYAKIT,PENYAKIT PA CEH,LO PUX PENYAKIT APA”Tanyaku kaget. “Gue sakit Paru2 Nis,gue gag pernah cerita ke elo krena gue gag ingin membuatmu sdih.Dan coal kemaren sebenarny gue disrh ma Dinda dan Sari bicara gtu klo tdk dia kan membocorkan ke lo klo gue pux penyakit Paru2”Jawab Nani sambil mengis.
“Maafin gue ya Nan,gue udah salah sangka ke loe”Kataku sambil menangis dan memeluk Nani. “Sebelum maut menjemput gue,gue maw kasih kenang2 ke loe”Kata Nani.
“Lo gag bloh mati gue gg mau kehilangan sahabat seperti loe,gue gag mau”Jawabku ketakutan. “Nie liontin didlm nya ada foto kita berdua.Dan nie Gantulan Bintang,gntulan bintang nie jika kmu taruh di tempat yang gelap terdapat tulisan
“NISA SAYANG NANI,NANI SAYANG NISA”,lo simpan ya kenang2 dri gue!Gue maw istirahat dulu,swtu saat kita pasti ketemu di Surga”Kata2 terakhir Nani yang diucapkan pada Nisa. “NANI..................JGN TINGGALIN GUE”Teriak ku smbil menangiz.Aku hanya bza menagis karena udah kehilangan sobat seperti Nani?Mungkin gue gag akan temuin sobat seperti dia yang melakukan apa saja utk sobatnya agar sobatnya tdk bersedih mskipun tu menyakitkan baginy dan sobat.Semenjak Nani meninggal gue selalu bwa liontin dan gantulan bintang itu supaya gue selalu ingat dengannya.

THE END

Baca juga Cerpen Remaja dan Cerpen Persahabatan lainnya.



DENDANG SEPANJANG PEMATANG
Cerpen M. Arman AZ

Adalah kenangan yang menghimbauku untuk menengok pohon randu itu. Letaknya menjorok sekitar sepuluh meter di sebelah kiri jalan masuk kampung. Dahan-dahannya seperti masa lalu yang merentangkan tangan. Aku tergoda untuk membelokkan langkah ke sana. Bersijingkat menyibak rimbun ilalang setinggi pinggang.

Ohoi, pohon randu, inilah dia si anak hilang. Lama sudah dia tak pulang. Sambut dan peluklah dia sepenuh kenang.

Kutelisik sisi belakang batang randu itu. Sekian tahun silam, menggunakan sebilah belati milik kakek yang kupinjam tanpa izin beliau, aku dan beberapa teman bergiliran memahat nama kami di sana. Tak ada lagi ukiran nama kami. Aku tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan. Bukankah pohon randu terus tumbuh seiring guliran waktu? Kuletakkan pantat di tanah yang lembab. Menyandarkan punggung di kekar batang randu. Kuhela napas haru. Aroma humus dan ilalang mengepung dari segenap penjuru.

Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini dengan kampung seberang, kusaksikan pagi menggeliat lagi. Ufuk timur perlahan benderang. Aku teringat selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip dari balik punggung gedung-gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimnya dari negeri yang jauh. Konon dia sekarang jadi kelasi kapal pesiar. Entah di belahan dunia mana dia kini berada. Masih ingatkah dia pada pohon randu ini? Masih ingatkah dia pada Pak Narto, guru kami dulu? Andai dia tahu beliau telah mangkat, sanggupkah dia lipat jarak dan waktu agar bisa ikut mengantar kepergiannya?

Kemarin siang, di tengah raung mesin pabrik, ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget mendengar suara Ayub. Dia salah seorang sahabatku di kampung. "Pak Narto wafat!" jeritnya dari seberang sana. Sebelum mengakhiri percakapan yang tergesa-gesa, Ayub minta tolong agar kabar duka itu kusampaikan secara berantai ke teman-teman lain.
Kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak.
***

Aku tertegun menatap rumah Ayub. Dindingnya dari papan. Di samping kiri ada tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari rumahnya. Ada kuntum kembang sepatu dan melati baru mekar. Sedap dipandang mata. Di depan rumah ada bale-bale bambu. Ruas-ruasnya sudah renggang. Kuucap salam di depan pintu yang separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh, dan derit pintu yang dikuak.

"Man?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah lama kami tak bersua. Detik itu juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling berpelukan.
"Baru datang? Wah, pangling aku. Gemuk kau sekarang. Sudah jadi orang rupanya. Ah, sampai lupa aku. Ayo masuk." Runtun kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang tamu. Tas kecil kuletakkan di lantai semen. Ayub memanggil istrinya. Dikenalkan padaku seraya minta dibuatkan dua gelas kopi.

Wajah Ayub yang sesegar pagi cepat menghapus letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos putih lusuh dan celana panjang hitam. Tubuhnya kekar. Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul keluar. Ketika senyum atau bicara, gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh keluguan ia dedahkan hidupnya kini.

Dari semua nama yang terpahat di batang randu, cuma Ayub yang masih setia pada kampung ini. Yang lainnya telah pergi menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang, bahkan ke negeri orang. Ayub hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tua. Katanya, meski sempat diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup lumayan. Hasilnya digunakan untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi empang. Dia pelihara ikan mas dan gurami untuk menambah penghasilan.

Aku ngilu waktu Ayub menyuruhku menginap di rumahnya. Tawaran itu menohok batinku. Aku tak punya apa-apa lagi di sini. Setengah windu setelah Emak menyusul Abah ke liang lahat, aku dan tiga saudaraku sepakat menjual sawah dan rumah. Kami ingin merantau. Mencari nasib yang lebih baik. Setelah hasil penjualan dibagi rata, kami pun berpencar ke penjuru mata angin.

Bagaimana menguraikan keadaanku pada Ayub? Aku cuma buruh pabrik tekstil di pulau seberang yang gaji tiap bulan ludes untuk menghidupi istri dan empat anak yang masih kecil. Bedeng kontrakan kami tak jauh dari kawasan pabrik. Berhimpitan dengan bedeng-bedeng lainnya. Lingkungannya kumuh, dikepung bacin selokan dan tempat pembuangan sampah. Kami sudah biasa antre mandi, buang hajat, atau cuci pakaian di WC umum yang ada di tiap pojok bedeng.

Ayub terpana mendengar ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela, "Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup."

Menepis risau, kuraih gagang gelas. Kuseruput kopi yang dihidangkan istri Ayub. Ah, kopi yang digoreng sendiri lebih nikmat rasanya. Sambil menyulut rokok, Ayub berkata, "Kenapa tak pulang saja, Man? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi keluarga kita dulu."
Aku tercekat. Sekian lama di rantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbersit di benakku untuk pulang.
***

Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami kenang kawan-kawan lama. Maryamah, gadis lugu yang dulu pernah aku kesengsem padanya, kini jadi biduan orkes dangdut. Namanya diubah jadi Marta. Kata Ayub, jangan harap dia menengok jika dipanggil dengan nama asli. Darto, yang paling pintar di kelas kami, jadi tukang becak di kota. Sebulan sekali dia pulang menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget mendengar nasib Sumarno. Dia jadi bencong. Ngamen di gerbong-gerbong kereta. Lantas kuingat Abas. Ayub bilang, dia ketiban bulan. Hidupnya kini makmur. Mertua Abas orang kaya di kota kecamatan. Abas ditugasi mengurus koperasi. Kesempatan itu tak disia-siakan Abas. Dia pinjamkan uang pada orang-orang dengan bunga tinggi. Masih kuingat guyonan tentang Abas dulu. Jika ketemu Abas dan ular sawah dalam waktu bersamaan, lebih baik bunuh Abas duluan, sebab culasnya melebihi ular. Dan si Ahmad, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri di sebuah pesantren di Madura.

Ah, waktu telah mengubah segalanya. Kisah teman-teman lama membuatku takjub, heran, campur sedih. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Usai berdoa di sisi almarhum Pak Narto, kami beringsut keluar dari ruang tamu. Duduk di seberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi matahari, makin banyak pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu. Ada tarup besar memayungi halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Dari bisik-bisik yang kudengar, Marta yang membayar sewa tarup dan kursi itu. Dia tak bisa datang melayat.

Dulu warga kampung ini hidup penuh harmoni dan bersahaja. Meski tak ada hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara. Kehidupan yang lambat laun sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih. Merantau jadi pilihan kami, anak-anak muda kala itu.

Sejauh-jauh terbang, warga kampung ini pasti mudik setiap lebaran. Cuma aku yang jarang pulang semenjak tak ada lagi yang tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang meninggal, Kami yang di rantau pasti dikabari. Tapi, entah kenapa, sampai jenazah Pak Narto berkalang tanah di pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir teman yang kutemui. Apakah sosok lelaki kurus jangkung dan ramah itu telah lesap dari ingatan mereka? Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk sekedar menengok masa silam?
***

Hari kedua di kampung. Ayub mengajakku ke sawah. Pematang-pematang itu sudah tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Di jalan, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah atau ladang. Ada yang jalan kaki sambil menenteng pacul di bahu. Ada yang menggoes sepeda. Aku terharu. Mereka masih mengingatku dan meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.

Justru generasi muda kampung ini yang membuatku jengah. Beberapa kali kulihat mereka memacu sepeda motor sesuka hati. Ngebut di jalan tanah berbatu. Meninggalkan debu panjang di depan mataku.

Sawah Ayub beberapa puluh meter di depan sana, dekat rimbunan pohon pisang. Ketika masih ngungun menatap hamparan permadani hijau itu, Ayub mengajakku turun. Kapan terakhir kali aku meniti pematang? Alangkah jauh masa itu kutinggalkan.

Ayub melenggang tanpa kuatir tergelincir ke lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di belakangnya. Melangkah tersendat-sendat sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis semilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar...

Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang itu. Sempat terbersit untuk mengikuti Ayub berdendang sepanjang pematang. Namun, entah kenapa, bibirku terasa kelu.

Dari huma beratap rumbia, kusaksikan Ayub berkubang di tengah sawah. Batang-batang padi meliuk. Menimbulkan suara gemerisik ketika saling bergesekan. Sepasang kepodang terbang melayang di keluasan langit. Suara serunai terdengar sayu-sayup sampai. Entah siapa peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan sesat dalam masa lalu.

Kami pulang menjelang petang. Memutari jalan kampung. Meski lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa berenang. Sesampainya di sana, hati-hati kami turuni tebing penuh lumut. Aku rindu membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua telapak tangan lalu kucelupkan ke dalam air. Ayub terkekeh-kekeh melihat kelakuanku yang mirip anak kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa puluh langkah menyusuri jalan sunyi, tiba-tiba Ayub mencekal bahuku. Tangannya menuding rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Ayub pernah membidik burung dengan ketapel. Bidikannya paling jitu di antara kami. Burung itu jatuh dari dahan pohon. Menggelepar di semak-semak. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu. Ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.

Ayub menghardik mereka. Aku terpana. Merasa tertangkap basah, wajah keduanya pucat dan merah padam. Mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motor diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah Ayub kaku. Sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki kelakuan dua anak tadi.
***

Harum bunga kopi merayap dibawa angin. Bintang bertaburan di langit lama. Suara jangkerik dan kodok jadi musik alam. Aku serasa sedang berada di sorga.
"Kampung kita sudah berubah, Man," kata Ayub sambil menatap cahaya kunang-kunang yang timbul tenggelam di rimbun ilalang.
"Ya, aku seperti orang asing di sini," suaraku gamang.
"Semua teman kita pergi merantau. Jadi TKI, babu, atau buruh sepertimu. Tetua kampung meninggal satu-satu. Apalagi sejak teknologi modern menyerbu. Kampung kita makin kehilangan jati dirinya. Asal kau tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai tadi belum seberapa..."

Kalimat Ayub terakhir membuatku risau. Aku enggan bertutur lebih banyak. Aku harus tahu diri. Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa apa-apa lagi di sini.
***

Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga malam berturut-turut di rumah almarhum Pak Narto telah kuikuti. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal menyakitkan. Tapi biarlah kutelan dalam hati saja.

Dengan motor tuanya, Ayub mengantarku ke pasar di kampung sebelah. Di sana ada angkutan pedesaan yang trayeknya sampai ke terminal kota. Dari terminal itu aku akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.

Persis ketika kami lewati pohon randu itu, lagi-lagi Ayub mengimbauku agar pulang saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin kukatakan. Namun sekedar menghibur diri, kukatakan pada Ayub bahwa aku punya mimpi yang sederhana. Satu saat nanti, jika ada uang, aku mau pulang. Membeli sawah. Bertani sambil beternak puyuh dan itik. Makan dari hasil keringat sendiri. Hidup tenteram bersama anak istri.

Ayub berjanji kelak akan menagih mimpiku. Sementara aku membayangkan omong kosong yang baru saja kuucapkan, cuma bisa tersenyum giris...***

Baca juga Cerpen Persahabatan yang lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar