Senin, 09 Juli 2012

SAHABATKU PACARKU

POHON YANG HILANG
Cerpen Rachmat H. Cahyono

Lelaki bertubuh kecil bernama Marzuki itu terkejut melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Ia serasa mengenali garis-garis wajah itu.

"Man, Lukman, masya Allah. Bener ini kamu, Man?"
Lelaki yang disapa Marzuki itu tersenyum. Benar, itu memang Lukman, kawan masa kecilnya.

"Apa kabar, Ki?"
Mereka saling berangkulan. Lebih tepat, Marzuki merangkulnya lebih dulu.

"Nggak saya sangka, Man. Keren banget kamu sekarang. Cakep. Berapa tahun ya kita enggak ketemu?"
Sebaliknya, ia justru melihat kehidupan mandek begitu saja di suatu tempat. Berubah menjadi hantu tumpukan persoalan yang membuat kenalan lamanya itu terlihat lebih tua daripada usia sebenarnya. Uban di rambut, kantong mata kendor, letih menatap hidup. Tubuh kecil ringkih.

Ia sengaja menyulap dirinya menjadi peziarah yang singgah sebentar ke tempat lama yang dikenalnya. Perkampungan itu. Perkampungan di tengah ibu kota. Hampir 20 tahun berlalu, semenjak keluarganya membawanya merantau ke kota lain. Ke pulau lain. Lalu menghilang dalam kelebat hidup bergegas di negeri empat musim.

Sekolah. Bekerja. Berkeluarga. Perkelaminan. Hidup ternyata cuma deretan angka-angka.
Berapa umurmu? Apakah nilai sekolahmu selalu bagus? Hei, kau sudah bekerja ya, berapa gaji pertamamu? Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu? Nomor teleponmu yang sekarang dong? Umur berapa kau menikah? Berapa anakmu sekarang?

Hah. Angka. Angka. Angka.
Sekarang angin membawanya kembali ke sana. Ke tempat ia melewati masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remajanya. Dua puluh tahun lalu. Bukan waktu sebentar. Cukup untuk mengaburkan segala kenangan masa silam menjadi serpihan-serpihan samar yang tak lagi jelas warna dan bentuknya. Ah, kenangan. Bisakah manusia hidup dari kenangan?

Betapa pun ia menyukai kunjungan itu. Apa pun alasannya. Apa pun maknanya. Ia bisa kembali menginderai perkampungan yang begitu "kampungan" itu ("kampungan". Ia selalu mengucapkan kata itu dengan nada rindu yang berbekas di ujung lidahnya). Bertemu bau khas memualkan meruap dari selokan mampet berwarna keruh kehitaman. Terkadang ada bangkai tikus bengkak dengan perut membesar keputihan, mengambang di selokan. Orang-orang berlalu dengan sorot mata jijik dan tangan menutup hidung.

Tak ada kata lain yang lebih tepat selain mengakui perkampungan di tengah kota itu memang jorok betul dan kampungan betul. Padahal, letaknya bersisian dengan salah satu jalan penting di pusat Jakarta. Sebuah perkampungan tua. Konon riwayatnya bisa dirunut sejak Sultan Agung dari Mataram memutuskan menyerbu VOC di Batavia. Prajurit Sultan Agung yang tercecer kemudian menetap di perkampungan itu, kawin mawin dengan penduduk asli, beranak pinak. Jangan-jangan mereka desersi karena gagal menaklukkan birahi mereka sendiri.
Bagaimanapun, perkampungan itu pernah ikut mengasuh dan membesarkannya.
***
Marzuki mengajak mampir ke rumahnya. Ia penuhi ajakan itu. Masih rumah lama, rumah warisan orang tua. Letaknya berdekatan dengan lapangan bulu tangkis tempat dia bermain di masa kanak-kanak dulu. Sekarang lapangan itu sudah disemen, rapi, dengan garis-garis permainan dari ubin keramik putih, bukan lagi irisan bambu.

Hanya rumah Marzuki kelihatannya tidak banyak berubah. Letaknya masih lebih rendah daripada selokan di depan rumah. Rumah kecil yang catnya mengelupas dan selalu ramai celoteh kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Yang selalu kebanjiran ketika musim hujan tiba. Marzuki memperkenalkannya pada perempuan berpenampilan seadanya. Istrinya.

Ia memaksa diri minum teh manis yang dibuatkan perempuan itu. Terlalu manis. Gelasnya tidak terlalu bersih; masih tersisa aroma sabun. Agaknya dicuci tergesa-gesa. Gelas murahan, dapat gratis jika membeli barang-barang tertentu di pasar.

Ia tak membiarkan Marzuki bertanya lebih jauh perihal kehidupannya sekarang. Buat apa. Ia tahu dunia mereka sudah terlalu jauh berbeda. Justru ia yang sibuk bertanya-tanya pada kawannya itu mengenai kehidupannya sekarang. Kehidupan kawan-kawan lama mereka. Orang-orang yang pernah dikenalnya, yang ikut mewarnai kehidupannya di masa lalu. Begitu banyak perubahan. Bukan untuk mengorek, tapi sekadar memenuhi rasa ingin tahunya saja.

"Si Jimi?"
"Jadi Bandar putaw. Mati. Ditembak polisi."

"Astaga. Kalo Syafri?"
"Di Arab. Jadi TKI."

"Rima?"
"Di Surabaya. Bini kedua. Anaknya udah tiga."

"Syamsul?"
"Alhamdulillah, dia yang paling bener hidupnya. Sekarang punya pesantren kecil. Di Bogor."

"Masduki?"
"Kerja di pabrik gelas di Tangerang."

"Ustad Bibi?"
"Meninggal, Man. Tahun lalu. Darah tinggi."

"Innalillaahi…"
Ah, kenangan manis. Masa kanak-kanak. Percakapan mengalir begitu saja. Wajah-wajah berlintasan. Samar-samar. Sayup-sayup. Ada orang mengaji Quran. Ingatan mengalir kembali. Ustad Bibi, Habibi, dengan rotan yang tidak pernah ketinggalan dihantamkan di rehal. Sakitnya cubitan ustad itu. Ia pandai mencubit seperti perempuan. Kecil, pedih, berbekas di paha.

Terbayang kembali masjid kecil dengan dinding setengah tembok setengah kayu, di tengah perkampungan, tempat dia belajar mengaji. Suara anak-anak membaca juz Amma. Ada suaranya di sana. Kecil. Nyaring. Cerita tentang sorga dan neraka. Nanti di alam kubur akan ditanyai malaikat. Ah, kenangan.

Untuk sesaat, ia juga bisa melihat kemuraman terhapus dari wajah Marzuki. Mereka tertawa, semakin larut dalam kenangan masa kanak-kanak.
"Tapi sekarang perkampungan ini tambah gersang ya, Ki? Pohon gede semakin jarang kelihatan."

Marzuki mengangguk, masih ingat betapa mereka dulu begitu gemar memanjat pohon. Sekarang perkampungan itu semakin kehilangan pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak. Mungkin karena rumah-rumah semakin tumbuh merapat. Tak ada lagi lahan tersisa untuk tumbuh sebatang pohon besar yang bisa dipanjat anak-anak.

Padahal, begitu cintanya mereka waktu itu pada pohon tinggi. Pohon apa saja. Makin tinggi makin menantang. Ya, ia tetap mengingatnya dengan baik. Pohon mangga, pohon jambu air, pohon seri, pohon cereme. Bahkan pohon buni di dekat rumah kosong yang angker dan konon ada penghuninya, dengan buah kecil-kecil yang masam dan segar buat kelengkapan rujak tumbuk. Jenis buah yang tak lagi dikenali anaknya yang terbiasa dengan buah-buahan impor yang berderet di super market. Ah, Jakarta, ibu kota ini terlalu pelit dalam memberikan pohon di lingkungan pemukiman. Khususnya di perkampungan macam ini.

Mendadak Marzuki mengajaknya ke luar rumah. Ia mengikuti dengan pandangan bertanya. Masih di dekat lapangan bulu tangkis itu, Marzuki berhenti. Ada sebuah tempat anak-anak muda kampung itu biasa berkumpul.

"Masih ingat tadinya di sini ada apa?"
Ia tersenyum. Mengangguk.

"Pohon jaran. Kak Ila," bisiknya.
"Hehehe… ingetan kamu masih bagus, Man."

Ia tersenyum. Samar. Dulu di tempat itu memang ada sebatang pohon jaran. Entah apa nama latinnya. Pohonnya tinggi, besar, kokoh, sekitar 30 meter menjulang ke langit. Daunnya kecil-kecil, rimbun. Pohon kesayangannya. Hampir setiap ada kesempatan ia selalu menaikinya. Bahkan pernah bersama Marzuki ia membuat rumah-rumahan kecil dari kayu, di pohon itu. Ia senang berada di atas. Seolah tangannya bisa menjangkau langit biru. Gedung tinggi Jakarta terlihat di kejauhan. Mosaik pemukiman sekitarnya. Jika beruntung, pagi-pagi sekali, ia bahkan masih bisa melihat Gunung Salak dan Gunung Gede di kejauhan. Ia bisa menuntaskan khayalannya menjadi petualang perkasa yang menaiki tiang-tiang tinggi kapal layar yang berlayar di tengah samudera. Bahkan ia betah berjam-jam berada di atas pohon itu.

Dan sebuah kamar mandi umum tanpa atap, radius sekitar 30 meter dari pohon itu. Ingatan yang tak pernah lekang dari benaknya. Ketika dari atas pohon itu, tanpa sengaja, ia dan Marzuki memergoki tubuh perempuan dewasa yang sedang mandi. Utuh. Penuh. Sempurna. Dengan paha bak pualam, payudara indah seperti keramik Cina. Tanpa sehelai benang pun. Ia melihat semuanya. Tubuh bu**l Kak Ila, istri Mas Agus, tetangganya. Basah berlumur busa sabun.

Pemandangan itu, meskipun hanya satu kali, begitu mengesankan dan sempat bersemayam lama di hatinya. Membuat dada kanak-kanaknya yang tengah memasuki masa peralihan ke usia remaja, selalu berdesir. Untuk pertama kalinya ia merasakan desakan gairah begitu kuat di sekitar celananya.

"Kamu tahu Man, aku onani pertama kalinya ya setelah ngeliat Kak Ila itu. Malamnya ketakutan setengah mati. Mikir, kemakan omongan orang, kalau onani bisa jadi buta dan gila. Bego ya, dasar anak-anak," bisik Marzuki sambil nyengir dan mengedipkan matanya.

Ia tersenyum simpul. Hal yang sama juga terjadi pada dirinya.
Sekarang pohon itu sudah tidak ada. Ditebang beberapa tahun lalu. Di bawahnya dibangun pos ronda. Namun, ia masih bisa melihat sisa pohon itu. Bonggol akar dan pangkal batangnya dibuat semacam meja oleh anak-anak muda kampung itu. Meja kayu yang tampak tua, hitam mengkilat karena dipernis berulang kali.

Meskipun hanya sebentar, ia tahu perjalanannya ke perkampungan yang pernah ditinggalinya itu memuaskan rasa ingin tahunya. Ada janji lain yang harus dipenuhinya kepada seorang relasi. Waktu untuk berpisah sudah tiba. Ia segera berpamitan pada Marzuki, masih sempat menyumpalkan lembaran uang ke tangan kurus itu

"Apaan nih, Man. Masya Allah, banyak bener. Enggak salah nih. Lima ratus ribu. Makasih ya, Man."
"Kalau ada tawaran harga cukup bagus untuk ngelepas rumah dan tanahmu, terima aja ya, Ki," katanya sambil bergerak menjauh dan melambaikan tangannya.
"Apa, Man?" Marzuki tak begitu mendengar perkataannya, karena masih terperangah pada rezeki nomplok yang hinggap di tangannya.
***
Dalam mobil yang membawanya ke salah satu hotel bintang lima di pusat kota, ia tahu ia tidak terganggu dengan kenangan sesaat dari perkampungan itu. Keputusannya tidak berubah.

Ia menelepon sekretarisnya. "Halo, Katrin, bagaimana dengan persetujuan gubernur? Sudah turun hari ini? Bagus! Saya sudah melihat lokasi itu. Sampaikan pada semua staf, saya minta mulai bergerak hari ini juga," pesannya dengan nada tegas.

Persetujuan dari gubernur sudah turun untuk studi kelayakan yang dibuat timnya terhadap wilayah itu. Cepat atau lambat warga perkampungan yang pernah menjadi tetangganya akan tergusur dari lahan itu. Dengan cara apa pun. Ia mengeraskan hatinya. Wajah-wajah mereka yang pernah dikenalnya di perkampungan itu berlarian di benaknya.

Sekarang ia siap kehilangan tempat itu. Perkampungan yang mandek dan tersesat dalam waktu. Mungkin terasa pahit pada awalnya. Tapi, obat pahit dibutuhkan untuk menyembuhkan sakit dan melanjutkan hidup. Pohon kokoh bisa ditebang jika tak dibutuhkan lagi. Marzuki dan keluarganya? Teman-temannya yang lain? Tetangganya di masa lalu? Terima kasih. Mereka akan selalu menjadi bagian kenangan hidupnya. Namun biarlah sang nasib yang akan mengatur hidup mereka selanjutnya. Ia pun hanya menjalani nasib dan kehidupannya sendiri. Ia tahu itu. Sejak lama.

Ia juga tahu berapa harga pantas untuk sebuah kenangan. Tolol kalau membiarkan perkampungan itu tetap ada dalam peta Jakarta. Lokasinya terlalu strategis untuk diabaikan dari sudut pandang ekonomi. Ia tahu ia bisa menyulapnya.

Ah, pesulap. Tiba-tiba saja ia ingat nama-nama itu.
"Rustam, kamu tahu pesulap yang namanya Houdini atau David Copperfield?" Ia bertanya pada sopirnya.

"Yang David itu pernah dengar, Tuan. Yang satu lagi, belum. Kenapa, Tuan?"
"Tidak apa-apa."

Ia tersenyum. Dengan koneksi, modal, dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tahu ia bisa menjadi "pesulap" yang lebih baik daripada Houdini atau David Copperfield! ***
Jakarta, akhir Januari-awal Mei 2004
Untuk Ulfi Faizah di Malang
Baca juga Cerpen Persahabatan yang lainnya.



TEMANKU
Cerpen Nurfajrina

Aku akan menceritakan seorang teman yang sangat aku kagumi dan paling kusayangi,bacalah dengan baik-baik kisahku ini...
“Fikri!” begitu lantang suara itu dan tak salah lagi itu suara temanku yang paling baik dan kusayang.”Hei!,hehehe aduh pagi-pagi udah ada penggemar nih!” kataku sambil tersenyum kepada temanku yang kulitnya putih langsat itu menambah keayuaannya,”hah..hah..ge-er lu!,duh tadi di panggil gak nyahut mulu sih!,cape nih,”gerutu temanku kalau cemberut menambah manis wajahnya,”hahaha maaf maaf kirain tadi ada penggemar jadi pura-pura cool biar tambah ganteng!”,godaku “huuu..ganteng darimana?hihihi,” temanku tersenyum..maniiis sekali,ah andai kau tahu hati ini berdegup kencang kalau kau tersenyum seperti itu.”Hei! jangan melamun dong,masih pagi juga hehe..ups,ayo kita ke kelas udah mau masuk!”,”eh..iya iya!” kataku gagap dan mengikuti temanku dari belakang.
“Uh...pusing arah vektor,gaya,momentum..semuanya membuatku ingin muntah!”keluhku pada pelajaran Fisika,”eits,kenapa Fik?,padahal  Fisika itu menyenangkan loh dan jangan lupa angka-angkanya lucu seperti om gaya ini,bibi vektor,kakek newton hihihi”,temanku ini memang selalu mengibaratkan semua pelajaran dengan istilah-istilah yang menurunya lucu,mungkin aneh juga untuk gadis seusia dia.Karena kebanyakan gadis seusia dia lebih memilih hubungan percintaan atau apa tapi ini sebaliknya,ahh menambah rasa kagumku padanya.

Pelajaran pun usai saatnya PULANG!.Mungkin bagiku bel pulang sekolah adalah bel yang paling indah karena semua murid berhamburan keluar untuk berlomba siapa yang pertama sampai ke rumahnya,seperti yang aku lakukan ini.Setiap pulang sekolah tanpa basa basi aku merapikan buku dan memasukkanya ke dalam tas dan.............LARI!!! keluar kelas hehehe....Tapi,aku tak mengerti pada temanku ini,dia selalu santai saat bel pulang setiap kutanya ‘mau pulang?’,dia menjawab dengan singkat ‘tidak,aku mau ke perpustakaan dulu”.Hmmm,dia memang sangat rajin,padahal menurutku dia tak belajar pun selalu rangking satu.Iya temanku itu sangat cerdas walaupun sifatnya seperti anak kecil dan..hey! dia sangat bersemangat! Kalau dipikir-pikir kenapa aku tidak menirunya?.Malah sebaliknya,aku pemalas,kurang cerdas(maaf tidak menggunakan kata bodoh karena sangat merendahkan martabat,hehe..) dan kurang ganteng.Huft...

Tak terasa waktupun cepat berlalu.Temanku makin lama,makin cantik,rajin,energik dan cerdas.Sudah lama aku menyimpan rasa kagum padanya tapi aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkanya,ahh mungkin jadi temannya sudah cukup.”Fikri!”,”astagfirulloh...,iya!..hmm kenapa selalu teriak-teriak sih pelan-pelan saja,aku bisa jantungan nih”,ucapku karena saking kagetnya,”hehehe..maaf,oh iya kenapa Fik,akhir-akhir ini selalu melamun tar kesambet..iih serem”,aku hanya tersenyum..ah andai dia tahu aku melamun karena dia,”eh,Fik nanti setelah lulus kamu  mau kemana?”,oh iya!,huft kenapa aku membuang waktu dan tidak memikirkan masa depanku,”eh..entahlah masih ragu-ragu,memang kamu mau kemana ka?”,”Insyaalloh aku mau ke Sma Tunas Bangsa,banyak dari kelas kita yang mau kesana dan katanya mutu sekolah nya bagus jadi Fika mau ke sana,hehe”,”oh”,jawabku padahal aku harap kita bisa satu sekolah lagi hanya Sma Tunas Bangsa bukanlah pilihanku.Aku ingin sekolah di Sma Bakti Bangsa.”hei,jangan melamun lagi!..hehe jadi kira-kira mau kemana?”,”hmm,insyaalloh ke Sma Bakti Bangsa”,”oh..bagus !..Mudah-mudahan kita bisa berprestasi nanti disana,ya!.Oh iya jangan lupa kawan lama ya? Hehe”,ah senyumnya membuat aku jadi semangat!.Tapi mungkin nanti aku tak bisa lagi melihat senyumnya yang manis itu.


Ujian Nasional kulalui dengan mulus.Alhamdulillah akhirnya kami diterima di Sma favorit masing-masing.Kadangkala kami selalu berhubungan lewat media elektronik sekedar menanyakan kabar,tapi mungkin itu yang ada dipikiran temanku.Hanya bagiku itu sebagai penawar rindu karena suaranya yang lantang memanggil namaku.Banyak pelajaran yang kudapat dari temanku itu.Untuk belajar bersabar dan bersyukur seperti kejadian saat kelas 2 smp yang lalu.Saat itu aku dan temanku sedang jajan batagor,karena kami berdua sama-sama menyukai batagor.Tiba-tiba ada sekumpulan teman-teman perempuan yang sedang bergerombol membicarakan sesuatu.Tanpa sengaja aku dan temanku mendengar obrolan mereka,”eh tau gak si Fika itu anaknya sombong loh!,dia seenaknya sendiri! Tuh liat dia hanya ditemani sama anak laki-laki yang culun itu karena memang tidak ada yang mau berteman dengannya!”,”iya benar dia tuh nyebelin!,aku benci loh!muak!”,”iya kayaknya kita butuh kantong plastik deh!.karena ngomongin dia pengen muntah..hahaha!”.Astagfirulloh..itu ghibah namanya,kulihat muka temanku merah karena marah dan..menangis!.”hmm sudah Fika biarin saja jangan didengerin omongan mereka!,mereka memang penggosip!”,kataku marah karena telah menyakiti hati temanku,”astagfirulloh....maaf Fikri sudah gak apa-apa kok.Aku bersyukur karena itu dosa ku hilang dan seharusnya aku berterima kasih pada mereka, akhirnya aku tahu kekuranganku”,ucap temanku kembali tersenyum seperti tidak ada apa-apa.Subhannalloh satu poin lagi!..aku tambah tambah kagum padanya!

Keesokan harinya,salah satu perempuan yang membicarakan kejelekan temanku masuk rumah sakit.Teman-temanya belum menengoknya,tapi tahukah kalian? Temanku adalah orang yang pertama kali menengoknya!.Aku bertanya “mengapa kau lakukan itu?,bukankah dia sudah membicarakan hal-hal yang tidak baik tentangmu?”,dengan tenang temanku menjawab,”tidak sepantasnya aku membalasnya dengan hal yang tak baikkan?,oleh karena itu aku ingin menengoknya dan berterima kasih padanya karena aku tahu kekurangankusehingga aku bisa mengintropeksi diri”,temanku pun pergi membawa sekerangjang apel untuk menengoknya.Ah,entah bagimana menjelaskannya,mungkin menurut kalian kejadian ini sepele sekali tapi dalam kehidupan nyata hal ini sulit dilakukan,kawan!

Sudah lama aku tidak pernah menjumpainya.Gelar sarjana telah kuperoleh,ingin rasanya aku menunjukan gelarku ini padanya,pasti dia kaget karena temannya sekarang sudah sarjana,hehe..Dan aku ingin temanku tahu bahwa dia telah membuat diriku selalu semangat dalam menghadapi cobaan dan masalah seperti kata-katanya yang selalu kuingat,”Winners are achievers;losers sustainer”,iya itu benar!.Oleh karena itu aku tidak boleh menyerah dan mengeluh.Besok aku akan menemuinya karena esok adalah hari miladnya Fika.Ah,tak sabar aku ingin menemuinya.

Esoknya aku bangun pagi-pagi karena tak sabar ingin menemuinya.Setelah berjalan selama 2 jam akhirnya,tiba juga.Kupandang papan itu dengan hati-hati “Pemakaman Muslim”.Banyak orang membawa bunga untuk ditaburi diatas makam orang yang mereka sayangi begitupun aku membawa bunga mawar merah kesukaan temanku yang manis itu.Setelah sampai aku melihat papan nisan itu tertulis namanya “Fika Nurfajrina “.Ah waktu cepat berlalu Fika meninggal karena kecelakaan dan lebih buruk lagi aku belum menyampaikan perasaaanku padanya.”Fika,Alhamdulillah aku sekarang sudah sarjana dan akan melanjutkan pendidikan ku ke S-2.Itukan cita-citamu dulu?,kau selalu menyemangatiku harus selalu berjuang dan bertawakal.Sekarang aku berhasil kawan,mendapat nilai terbaik dikampusku.Terima kasih Fika,aku janji tidak akan melupakanmu,”.Setelah itu aku berdo’a mudah-mudahan segala amal baik temanku itu diterima oleh Alloh SWT.Amin.

Baca juga Cerpen Persahabatan atau Cerpen Tentang Sahabat yang lainnya.



AKHIR CERITA CINTAKU
Cerpen Annisa Ananda

"Vika, ada Radit di luar?" sahabatku  muncul dari balik pintu kamarku.
"Suruh dia pergi! Bilang aku tidak ada di rumah," jawabku tanpa melihatnya.

Aku hanya bisa menyendiri di kamar, tanpa ada siapapun melihatku. Ibu dan Ayahku bercerai. Mereka berpisah saat aku berumur lima tahun. Aku di titipkan oleh Budeku. Seiring waktu berjalan, Bude meninggal dunia. Sampai sekarang aku tak tau siapa Ayah dan Ibuku sebenarnya. Yang ku tahu di dunia ini aku hanya sebatang kara dan aku hidup di dampingi sahabatku, Alya.

Penderitaanku lengkap sudah. Satu tahun lalu kecelakaan maut menimpaku. Waktu itu aku sedang mengendarai mobil, tanpa sadar di depan mobilku, sebuah truk besar lewat dengan kecepatan tinggi dan sampai akhirnya truk itu pun menabrak mobilku. Aku tidak sadarkan diri selama lima bulan lamanya. Radit terus berada di sampingku saat aku tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Cintaku pada Radit tak semulus perkiraanku. Ibunya melarangku dekat dengan anaknya karena statusku tidak jelas. Ya, aku terima itu. Aku tersadar kalau status sosialku sangat tidak jelas. Alya mengurusku selama dua tahun lamanya semenjak Bude meninggal dunia. Aku sangat berterima kasih padanya. Namun aku merasa sangat merepotkannya karena sekarang kondisiku mungkin sangat merugikan dirinya.

Dirumah sakit yang menemaniku hanya Radit dan Alya, tidak ada yang lain. Terbangun dari tidur yang panjang, aku depresi. Aku tersadar kalau aku buta dan lumpuh. Aku tidak terima dengan semua yang menimpaku. Penderitaankupun semakin lengkap, aku putus dengan Radit. Kalau hubungan kami terus berlanjut, Ibunya akan melakukan sesuatu padaku meski kondisiku buruk seperti ini.

Hampir setiap hari Radit datang kerumah Alya untuk melihat kondisiku, namun aku selalu tidak ingin bertemu dengannya. Bukan benci padanya, tapi aku hanya menjaga jarak darinya. Aku menyayanginya, mencintainya setulus hati. Aku tersadar, aku tak pantas untuknya. Mungkin kami tidak untuk bersama selamanya.
"Vika, dia ingin bertemu denganmu! Aku sudah melarangnya masuk,"
"Pergi!! Jangan ganggu aku! Pergi kalian,"

Aku berteriak kuat. Menghancurkan barang yang ada di meja. Gelas jatuh dan pot bunga terjatuh. Lantai kamarku berserakan dengan serpihan kaca. Aku mengamuk dan tak perduli siapa yang ada di sebelahku. Terdengar suara pintu terbuka, Radit tiba-tiba masuk kedalam kamar. Dia berusaha menenangkanku. Aku tidak bisa tenang, aku tersiksa. "Pergi, jangan ganggu aku! Pergiii!!!"
"Vika, tenang!! Ini aku Radit."
"Pergi, jangan ganggu aku!!"
"Vika tenang! Jangan hipnotis diri kamu kalau kamu nggak bakal sembuh. Tenang Vika, nggak ada yang ganggu kamu disini. Disini hanya ada aku dan Alya, nggak ada yang lain!!?" Radit meremas lenganku. Air mataku menetes, membasahi pipiku. Dia memelukku, rasanya tenang. "Tenanglah Vika, aku selalu ada di sampingmu," ucap Radit sembari menghusap air mataku yang membasahi pipiku. Sisi lain diriku sangat tersiksa. Orang tua membuangku begitu saja, mengalami kecelakaan dan membuat aku lumpuh. Tapi sisi lainnya, dua orang yang sangat menyayangiku. Radit dan Alya, mereka adalah orang yang paling berkorban dalam hidupku. Terima Kasih.
***

Satu bulan berlalu. Aku merasa nyaman dengan keberadaan Radit di sampingku. Dia selalu menjagaku dan membawaku keluar dari kamar. Awalnya aku takut keluar dari kamar, rasa trauma yang besar tak bisa ku bendung. Namun karena dukungan yang begitu besar darinya, aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar. Dan aku terbiasa keluar dari kamar.

Kondisiku semakin membaik. Tapi lagi-lagi musibah menimpaku. Dokter menyampaikan padaku kalau aku terkena Kanker otak. Itu membuatku semakin sangat depresi. Tapi sebisa mungkin hal ini aku sembunyikan dari Radit, aku tak mau dia sedih karena aku. Hanya Alya yang tau aku terkena penyakit ganas ini. "Vika, kamu harus sering-sering keluar, agar kamu terkena udara segar!" ucap Alya sembari mendorong kursi rodaku. "Al, kalau aku pergi nanti, kamu nggak menyesalkan telah mengeluarkan banyak uang untukku?" Alya menggenggam tanganku, dan sepertinya dia duduk di depanku.
"Seumur hidup, aku nggak akan menyesal karena telah merawatmu dan menghabiskan uang banyak. Semua fasilitas ini kalau aku tidak memberikannya pada sahabatku yang lebih membutuhkannya, untuk apa aku memiliki semua fasilitas ini?"
"Kalau aku pergi nanti, jaga Radit baik-baik ya Alya?"
"Vika?" dia menggenggam erat tanganku.
"Aku sangat berterima kasih padamu karena kau telah merawatku selama ini. Sampaikan pada Radit, kalau aku sangat mencintainya, Alya."
"Vika, stop! Aku dan Radit akan membawamu keluar negri minggu ini, kami akan berusaha untuk membuatmu pulih kembali," ucapnya dengan nada serak. Mungkin dia menangis. "Jangan menangis Alya. Biarlah aku dengan penyakitku ini. Aku tidak ingin lebih banyak lagi menyusahkan kalian." Alya memelukku dan menangis di pelukanku. "Jangan menangis, Alya. Allah akan membalas semua kebaikanmu dan Radit. Aku sangat berterima kasih pada kalian," Alya semakin erat memelukku. Dia menangis terisak.
"Vika!!!" teriakan keras terdengar dari taman. "Oh, kamu yang bernama Vika?" dia menyebutkan namaku. Aku tidak tau siapa wanita ini, tapi yang jelas dia marah-marah padaku. "Iya. Anda siapa ya?"
"Aku ibunya Radit. Kamu dukunin anakku ya? Mana mau anakku pada wanita lumpuh seperti kamu? Statusmu tidak jelas, duduk di kursi roda dan buta. Kamu pasti peletin anakku, iya kan?"
"Stop! Anda datang-datang marah dan mencaci Vika. Maksud anda apa? Saya bisa melaporkan anda ke polisi sebagai tuduhan telah melecehkan orang yang tidak anda kenal." Alya marah pada wanita ini. Air mataku menetes, tubuhku gemetar. "Silahkan. Saya juga akan melamporkan kalian karena kalian sudah mencuci otak anak saya. Dengar ya kamu wanita buta, kamu tidak pantas dengan anakku. Anakku ganteng, berpendidikan tinggi. Status anakku sangat jelas, sedangkan kamu berbanding terbalik dengannya."
"Diam! Sekarang juga anda pergi dari rumah saya,"
"Ingat itu! Jangan kamu dekati anakku," ucapnya.
       
Dia pergi dengan kata-katanya yang membuatku tidak enak. Alya menenangkanku yang gemetar sejak dia menghinaku habis-habisan. "Tenang Vika. Kita balik ke kamar ya," ajaknya. "Tidak. Tinggalkan aku sendiri di sini Alya, aku ingin sendiri," pintaku padanya. "Tapi Vika?" telpon berdering kuat di dapur. "Sebentar Vika, kamu jangan kemana-mana ya?" aku mengangguk.

Alya pergi meninggalkanku di depan pintu. Mungkin sekarang aku butuh udara yang lebih segar lagi. Kuberanikan diri untuk pergi keluar rumah. Mendorong kursi roda sendiri. Sampai akhirnya aku berada di taman, sepertinya. Ya, aku bertanya pada orang di sekitar, dan benar ini taman yang ingin ku kunjungi. Aku meminta tolong pada orang sekitar untuk mengantarku ke pinggir danau dan membantuku duduk di kursi panjang. Ia bersedia membantu dan aku banyak-banyak berterima kasih padanya.

Duduk di pinggir danau dan menghirup udara segar. Maaf Alya, mungkin sekarang kamu panik karena aku tidak ada di rumah. Berada di tempat ini, semua masalah bisa hilang seketika. Andai saja aku tidak buta, pasti sekarang aku bisa melihat keindahan di taman ini. Dan andai saja aku tidak lumpuh, aku bisa bermain air bersama Alya. Tapi semua itu hanya mimpi dan tak bisa lagi terwujud. Hanya mimpi!!
"Vika!!" jeritan terdengar, Suara itu sangat tidak asing di telingaku. Bagaimana Radit tau aku disini?
"Vika, kamu kok di sini? Kondisi kamu belum membaik Vika?" dia duduk di sebelahku. Aku tersenyum lebar. "Tidak apa! Aku lebih senang disini daripada di rumah?" jawabku. Radit menggenggam tanganku.
"Radit, kalau aku tidak sembuh, apa kamu masih ingin berada di sampingku?"
"Aku akan selalu berada di sampingmu. Aku nggak akan tinggalin kamu, Vika. Aku sayang kamu,"
"Kalau aku pergi nanti dan takkan kembali, apa kau mencari penggantiku yang statusnya lebih jelas?"
"Kamu ngomong apa? Kamu nggak akan pergi kemana-mana. Aku tidak akan mencari orang lain. Status kamu jelas, sangat jelas." jawabnya. Aku terdiam sesaat dan masih tersenyum. "Radit, terima kasih ya, selama ini kamu sudah menjagaku." ujarku.
"Ya. Sama-sama Vika. Tapi aku masih belum puas kalau kamu belum sembuh. Minggu ini aku dan Alya akan membawamu ke luar negri untuk berobat."
"Tidak perlu. Aku bahagia dengan kondisiku seperti ini. Bolehkah aku bersandar, Radit?"
"Boleh!!"
"Radit, terima kasih ya, kamu sudah banyak menolongku. Allah pasti membalas kebaikanmu dan Alya." ucapku sembari menutup mata. Kepalaku sangat berat, tanganku lemas. Tapi Radit masih terus menggenggamku dengan erat sembari merangkul lenganku. "Sama-sama. Aku janji, kamu pasti sembuh."

Kepalaku semakin berat dan rasanya aku melayang. Aku berada di tempat yang sangat terang, aku terus berjalan sampai aku berdiri di depan Radit dan...
"Vika? Vika?" Radit menoleh melihatku. Dia kaget melihat tubuhku yang wajahku bercucuran dengan darah yang keluar dari hidung. Dia menepuk pipiku dan berusaha menyadarkanku. Air mata Radit menetes. Ternyata aku sudah berada di alam lain. Radit memelukku dan menangis. Maaf Radit, aku harap kamu tidak sedih dengan kepergianku.

Radit jika aku harus memilih untuk bernafas dan mencintaimu, maka akan ku gunakan nafas terakhirku untuk mengatakan "Aku Mencintaimu"

Baca juga Cerpen Persahabatan - Cerpen Cinta dan Cerpen Sedih yang lainnya.


SAHABATKU PACARKU
Cerpen Annisa Ananda

Pagi yang cerah dan sayang untuk di lewatkan. Mentari pagi bersinar dengan terangnya. Udara segar pun berhembus. Hari ini hari pertama masuk sekolah semester kedua. Seteleh dua minggu libur puas. Ya, aku rindu sahabatku tercinta. Nazly, Vines, Nadya, dan semuanya. Mereka menungguku di sekolah. Mereka pasti marah-marah karena aku datang telat. 
"Pak, ayo dong!! Aku terlambat nih??" teriakku dari dalam mobil. Sempatnya Pak Agung masih berbicara dengan Papa. 
"Sebentar sayang, papa sedang bicara dengan Pak Agung!??" sambung Papa yang masih serius berbicara dengan Pak Agung. 
"Udah deh, aku naik sepeda aja?" jawabku segera turun dan langsung pergi mendayung. 
"Taura tunggu!!" aku mengacuhkan Papa. Kalau aku menunggu, bisa-bisa aku telat di hari pertama masuk sekolah.

Sampainya di sekolah, segera aku memarkin sepeda. Tepat sekali, saat masuk kedalam gerbang, bel telah berbunyi. Benar dugaanku, mereka menunggu di depan kelas dengan melipat kedua tangan mereka. Mereka pasti marah!! 
"Maaf sobat, aku terlambat?" ucapku menyesal. Namun secara tiba-tiba mereka tersenyum lalu memelukku bersamaan. 
"Aku merindukanmuuu,," mereka berteriak sekeras mungkin sampai kami menjadi bahan perhatian oleh semua siswa. Kami tertawa bersama. Di kelas kami masih saja membuat keributan, sampai akhirnya David si cowok termanis di persahabatan kami. 
"Hai David,," sapa kami bersamaan dan melambai tangan padanya. "Oh yaya,, kalian terlalu menyukaiku."
"Benarkah?"
"Ya, kalian terlalu mencintaiku! Kalian tidak rindu padaku?"
"Rindu nggak yaaa???" kami kompak untuk membuatnya bingung. Tertawa melihat ekspresi wajahnya yang menggemaskan. "Aku rindu kok sama kamu!!" sambungku. Mereka tertawa, David cengar-cengir tertawa karena malu. "Eh eh, sstttss,, ada Ratu sejagat lewat!" kata Nadya melihat Angela. Ini cewek paling narsis di sekolah. Kami tau dia paling kaya di sekolahan dan apalagi dia itu saudara sepupunya anak kepala sekolah. Untung saja anak kepala sekolah tidak bersekolah di sini. Jadi kenarsisan dia itu bisa sedikit agak terkontrol. Sebenarnya Angela ini dulunya termasuk dalam bagian persahabatan kami. Tapi karena sifatnya yang buat kami menjadi jengkel dan sama sekali tidak menyukainya, kami tidak berteman lagi dengannya. Kami menjauhinya dan jadilah seperti ini. Ku pikir, kalau tidak ada dia di persahabatan kami, kami menjadi tenang. Dan itu benar. "Hai David, apa kabarmu?" kami kaget melihat Angela menyentuh pundak David lalu merangkulnya. Perasaanku sangat tidak enak melihat pemandangan ini. "Oh, aku baik Angela. Kamu apa kabar?"
"Baik sayang! Aku ingin mengajakmu ke kantin. Ayo,," sayang?? Dan David mau saja di ajak oleh nenek sihir itu? Oh tidak? Tidak mungkin! "David, kamu mau kemana?" Tanya Vines. "Kamu nggak dengar, dia ingin mengajakku ke kantin?" jawabnya enjoy dan sama sekali nggak merasa kalau kami nggak suka dia dekat dengan Angela. "Ya sudah, pergi sana! Dan jangan harap satu hari ini kamu bisa gabung sama kita!!??" ujar Nazly. Mereka langsung pergi. Ini membuatku sakit.
****      

Istirahat pertama aku tidak bergabung pada Nadya dan Vines. Mereka masih asyik makan di kelas. Aku dan Nazly duduk di koridor sekolah. Aku hanya melamun dan tak bisa berkata apa-apa. "Kamu kenapa Ra?"
"Kamu nggak liat tadi dia deket sama Angela?"
"Iya! Aku liat. Jangan sedih Taura. Si nenek sihir itu memang sangat gatal sekali?" ucap Nazly.
"Tapi??"

Tanpa kami ketahui, David datang dan berdiri di depan kami. Nazly meninggalkanku bersama David. Dia duduk di sebelahku dan memandangiku. "Jangan memandangiku??"
"Memang kenapa? Tidak boleh kalau memandangi wajah sahabatku?" ya, dia masih menganggapku sebagai sahabat. "Oh ya Taura, kamu tau nggak, sebenarnya Angela itu baik loh! Ternyata dia itu orangnya asik banget!!" ucapnya dengan mantap. "Oh, kamu suka sama dia? Kenapa nggak menyatakan cinta padanya?" tanyaku ketus dan melihatnya sembari menaikkan alisku. "Niatnya sih begitu. Maunya sih ntar malam aku mau nembak dia?"  rasanya seperti di tusuk. Cowok ini sama sekali tidak merasakan. Sudah enam tahun kita bersahabat David, tapi kenapa kamu nggak ada rasa sama aku?
"Kamu kenapa? Kok hidungmu merah? Kamu menangis?" dia menggenggam tanganku. Aku langsung menepisnya. "Mau tau saja?" jawabku menghusap air mataku yang belum sempat jatuh ke pipi. "Siapa yang menyakitimu?"
"Seseorang??"
"Siapa?"
"Cowok yang nggak tau apa isi perasaanku. Dan seenaknya saja dia lebih memilih cewek lain daripada aku." David terdiam melihatku. "Siapa dia?"
"Dia cowok yang nggak bisa ngerti perasaanku. Cowok bodoh yang enaknya aja deket ama cewek. Cowok playboy yang nggak tau malu??"
"Kamu bilangin siapa?"
"Tetangga aku yang nyebelin!" jawabku lalu pergi meninggalkannya. Air mataku akhirnya menetes. Sahabatku kaget karena aku datang-datang menangis terisak. Mereka memelukku lalu memberikanku segelas air. "Kamu kenapa?" Vines bertanya dengan penuh heran. "Dia menyukai Angela?"
"Apa? Nggak mungkin? Dia nggak mungkin menyukai Angela?" Nadya marah.
"Ya. Dia sendiri yang bilang padaku. Dan nanti malam dia akan menyatakannya pada Angela." Air mataku semakin menetes. Nazly berusaha untuk menghusapnya dan mengelus pundakku. "Nggak bisa di bairkan. Mana si nenek sihir itu?" Nazly berdiri dan ingin mencari Angela. Namun cewek itu muncul dari depan pintu. Nadya langsung menariknya. "He, apa yang kalian lakukan?"
"Dengar ya Angel, kamu nggak bakal bisa ngerebut David dari kita ataupun Taura. Dia itu sahabat kita dan jangan sekali-kali kau meracuni pikirannya." kata Nazly membentak. "Kalian sudah gila? Siapa yang meracuni otak David? Lagipula kenapa kalian melarangku untuk menyukainya? Dia menyukaiku? Kami sama-sama menyukai? Jadi apa salah. Kalian saja yang terlalu heboh dengan masalah ini."
"Oh, kamu pikir David suka denganmu?"
"Jelas dong! Dia lebih memilih aku dari pada teman kalian si Taura itu. Mana mau dia sama Taura? Dia lebih memilih aku daripada Taura?" air mataku seketika berhenti. Berhentilah menangis Taura, ini tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik bicaralah dengan Angela dengan baik pula. "Maksudmu apa? Dia menyukaimu, Angel?" tanyaku. "Ya, jelas! Dia menyukaiku. Jadi jangan harap kamu bisa dapatkan David. Dia bilang padaku, kalau dia sudah bosan bersahabat dengan kalian, karena kalian terlalu cerewet!!" ujarnya. Spontan saja Nazly menamparnya. Aku tau kriteria sahabatku ini kalau dia sudah tidak mood dengan orang di depannya, dia langsung saja memukulnya. Di waktu bersamaan David datang dan marah-marah pada kami. "Apa yang kalian lakukan? Seenaknya saja kalian menampar Angela? Nazly kamu keterlaluan. Dan kalian semua tidak sopan pada Angela. Kalian kira tidak sakit di tampar?" tidak biasanya David marah-marah begini. Aku kaget dan tak berkedip melihatnya. "Lain kali kalau aku melihat kalian melukainya, kita bicara serius!!" ujar David lalu pergi sembari merangkul Angela. Makan hati. Aku tidak terima dengan semua ini. Ini tidak adil.
"Kalian dengar apa yang di katakannya barusan? Ini tidak bisa di biarkan? Otaknya sudah di cuci oleh nenek sihir itu. Nggak bisa di biarkan??" Vines marah-marah sendiri. Aku hanya bisa diam dan bertekad untuk tidak berbicara dengan David di beberapa hari kedepan. Jujur ini sangat sakit. Dia lebih memilih cewek nggak jelas dari pada kami sahabatnya yang sudah enam tahun selalu bersama. Ini sangat menyedihkan.

Malam ini aku hanya sendiri di rumah. Semuanya pergi dan belum pulang sampai jam delapan malam. Karena bete, aku pergi dengan mobil pribadi. Lebih baik ke toko buku, mencari buku pendidikan, novel ataupun komik. Kegiatan ini lebih baik kan daripada nggak tau mau lakuin apa di rumah sendirian.

Sampainya di toko buku, aku langsung mencari buku yang ku perlukan. Sebagian buku pendidikan dan novel. Selesai berbelanja buku, aku pergi ke toko roti dekat dengan toko buku. Memesan makanan dan duduk santai sambil membaca novel. Tidak lama aku membaca novel, mataku tertuju pada sesuatu yang membuat pemandangan sangat tidak menarik. David dan Angela datang bergandeng tangan dan duduk bersama. Angela sepertinya tau keberadaanku di sini, sebab itu dia terus tertawa dengan David. Oh, sangat menyebalkan. Secepat mungkin aku menyusun buku lalu pergi dari sini. Ini membuatku kesal dan tak bisa menyetir dengan baik. Namun sekuat tenaga menyetir dan akhirnya sampai kerumah. Ku rebahkan tubuhku dan berharap hari esok menyenangkan di sekolah. Dan semoga saja aku tidak bertemu dengan dua makhluk yang sekarang membuatku sangat kesal pada mereka.
****

Pagi ini di sekolah kami tidak lagi bergabung dengan David. Dia lebih asyik bersama dengan Angela. Beberapa hari ini batang hidung David tidak lagi nampak di depan ku ataupun sahabatku yang lain. Dia benar-benar menghilang? Aku takut kalau David rusak deket sama nenek sihir itu. Seharusnya dia tidak boleh menyukai Angela. Biarpun dia tidak menyukaiku, tapi dia harus menyukai gadis lain selain Angela. Aku akan sedikit memberika persetujuan padanya. Tapi kalau sama Angela, setengah saja pun aku tidak memberikan persetujuan.

Di koridor sekolah aku dan sahabatku berkumpul. Kami bersama-sama membaca komik milik kami masing-masing. Tapi sayangnya aku lagi nggak mood baca komik. Jujur, aku masih terus khawatir dengan keadaan David. Apa dia baik-baik saja? "Ra, kamu kenapa? Mikirin apa sih?" tanya Nadya. "Mikirin David pastinya," sambung Vines tanpa memalingkan wajahnya. "Kan udah aku bilang, jangan pikirin cowok kayak dia. Dia itu khianatin persahabatan kita. Dia lebih memilih nenek sihir itu daripada kita sahabatnya. Dan kamu jangan lagi deh punya rasa sama dia. Seumur hidup, dia cowok yang udah khianatin persahabatan kita." tutur Nazly dengan wajahnya yang kesal. "Ya, aku tau kalian membenci David sekarang ini? Tapi aku yakin dia pasti ada maksud tertentu."
"Tidak! Intinya dia itu udah jahat ke kita. Buktinya dia lebih memilih nenek sihir itu dari pada kita, sahabatnya sendiri??" Nazly sudah sangat kesal. "Iya, aku tau sobat! Tapi yakin deh, dia pasti ada maksud tertentu giniin kita semua??"

Kami semua terdiam. Tiba-tiba David datang dengan wajahnya yang masih imut-imut. "Ngapain kamu ke sini? Ada perlu ke kita?" tanya Nazly ketus. "Kamu kok gitu sih Naz? Aku nemuin kalian karena aku mau minta maaf. Selama ini aku salah udah ninggalin kalian! Maaf ya sobat, aku memang jahat." ucap David dengan wajahnya yang membuatku geli. "Oh, baru sadar! Baguslah!"
"Aku tau kalian marah padaku? Kalian boleh kok menghukumku? Aku akan ngelakuin apapun yang kalian minta, pasti aku turuti?"
"Nggak perlu David! Kita udah maafin kamu kok."
"Benarkah?"
"Iya! Lagian kenapa sih kamu deketin si nenek sihir itu?" tanya Vines penuh heran. "Aku deketin dia karena aku mau tau kenapa kalian para gadis jauhi dia. Sekarang aku tau, ternyata dia memang nggak baik. Dia itu playgirl ternyata. Malu-maluin banget, saat kami lagi makan sama, masa cowok-cowok datang rame-rame minta tanggungjawab dia? Wah, aku kaget dong? Untung aja bisa di selesaikan dengan kepala dingin? Kalau nggak??"
"Iya! Aku cuman nyumbang seribu buat kamu, nggak lebih!" sambung Nazly. Kami tertawa, Nazly pun tertawa mendengar kata-kata yang di ucapkannya barusan. "Jahat banget sih Nazly. Ya udah deh, kalian maafin aku kan?" kami mengangguk mantap. Tiba-tiba saja David memelukku. Aku kaget menerima respon darinya. Dan dia menggenggam kedua tanganku lalu menatapku penuh arti.
"Maaf, aku sudah menyakitimu. Selama ini aku berbohong. Aku mengujimu dengan berbicara kalau aku menyukai Angela. Ternyata respon mu kemarin cukup yakin membuktikan kalau kamu memang nggak suka aku menyukai Angela? Iya kan?" aku hanya mengangguk. "Dan sekarang aku sadar dan aku yakin, kalau aku suka sama kamu. Sebenarnya sih udah lama, tapi hari ini diriku punya nyali buat nyatainnya." aku tertawa mendengarnya. "Bagaimana?" sesaat aku terdiam. Melihatnya sembari tersenyum. Melirik sahabatku yang ikut cengar-cengir melihat kami. "Baiklah. Aku menerimamu." spontan dia langsung memelukku. Kami mulai beraksi. Membawanya pergi ke taman dan membasahinya. Ini kegiatan kami tiap kali kalau kami selalu berbuat kebohongan ataupun ada yang berbahagia. Sekarang aku senang, akhirnya David kembali padaku. Dugaanku salah kalau dia menyukai Angela. Sekarang kami tau, kalau Angela memang tidak cocok dengan persahabatan kami. Persahabatan kami lancar tanpa ada gangguan dari seorang pun.
HIDUP PERSAHABATAN.

Baca juga Cerpen Persahabatan dan Cerpen Cinta yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar