KONSELING TERHADAP ANAK JALANAN
A.
Keberadaan
Anak Jalanan
Anak jalanan adalah anak laki-laki dan perempuan
yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan
dan tempat-tempat umum, seperti pasar, mall, terminal bis, stasiun kereta api,
taman kota.
Pengertian anak jalanan dalam panduan pendataan PMKS (Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial) adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di
jalanan maupun tempat-tempat umum. Waktu yang dihabiskan anak jalanan untuk
bekerja, mencari penghidupan di jalanan atau tempat umum lainnya yaitu 3-24
jam/hari.[1]
Menurut Standar Operasional Prosedur (SOP) Tim
Penjangkau Dialogis Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah (2011:5) mendefinisikan
anak jalanan adalah anak yang karena suatu sebab terpaksa maupun sukarela
menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat keramaian umum
lainnya untuk bekerja atau nafkah.[2]
Berdasarkan pengertian yang dipaparkan, disimpulkan
anak jalanan adalah anak laki-laki atau perempuan berusia 5-18 tahun yang
melakukan kegiatan di jalanan atau tempat umum lainnya menghabiskan waktu 3-24
jam/hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya/mencari nafkah.
Berdasarkan hasil penelitian, secara garis besar anak jalanan dibedakan
dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Children on
the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi
sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan
orang tua mereka.sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang
tuanya.
2. Children of
the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara
sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan
dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu.
3. Children
from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup di jalanan.
B.
Pola
Pembinaan dan Bimbingan yang Dilakukan Pemerintah dan LSM terhadap Anak Jalanan
1.
Pemerintah
Usaha
pemerintah mengenai penanganan anak jalanan yang pertama adalah diadakannya
Rumah Singgah yang sekarang lebih dikenal dengan Rumah Perlindungan Sosial Anak
Jalanan (RPSA). Adanya Rumah Singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak
Jalanan (RPSA) merupakan bentuk kerjasama antara YSS (Yayasan Sosial
Sogijopranoto) dan Departemen Sosial sebagai bagian dari pilot project yang
didukung oleh UNDP dalam menangani kasus anak jalanan di Indonesia, yakni
dengan cara mengajukan suatu model Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) untuk
mengentaskan anak jalanan di Indonesia. Model penanganan ini berlanjut dengan
program penelitian anak jalanan yang dilangsungkan di 12 kota di Indonesia.
Dari pendataan tersebut kemudian melahirkan sebuah program pendekatan rumah
singgah yang pelaksanaannya di Semarang, melibatkan 7 Ornop (Organisasi Non
Pemerintahan) sebagai lembaga pelaksana. Dari 7 Ornop tersebut, Gratama
merupakan salah satu diantaranya. Kota Semarang dipilih sebagai salah satu kota
uji coba RPSA karena Semarang merupakan Ibukota dari Provinsi Jawa Tengah dan
diperkirakan jumlah anak jalanan yang relatif banyak.
Penanganan
yang kedua dari Pemerintah Kota Semarang adalah membentuk pos penghalau anak
jalanan di sejumlah titik di pusat kota. Langkah ini sengaja dilakukan untuk
mengatasi keberadaan anak jalan yang dinilai meresahkan masyarakat. Menurut
penuturan Kepala Dinas Sosial Pemuda dan Olah Raga Kota Semarang, Tri
Supriyanto di kantornya, Jumat 4 Januari 2013. “Sejumlah titik tersebut adalah
kawasan Tugu Muda, Kalibanteng, Jalan Pemuda, Jalan Ahmad Yani, Jalan Gajah
Mada dan Kaliwiru. Keberadaan pos ini akan ditempati oleh petugas gabungan dari
Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja. Tri mengaku selama ini pemerintah
Kota Semarang kesulitan menangani anak jalanan. Apa lagi menurut Supriyanto, panti
rehabilitasi Amongjiwo yang berada di kecamatan Ngalian, sudah tak mampu
menampung anak jalanan. Panti itu kini dihuni 200 orang meski kapasitasnya
hanya untuk menampung 50 anak jalanan. Selain itu, kata Tri, kesulitan
pemerintah bertambah karena belum ada regulasi yang mengatur tentang anak
jalanan. Draft aturan tentang penanganan anak jalanan baru akan diajukan ke
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tahun ini” (Tempo, 04 Januari 2013).[3]
2.
LSM
Menurut Tata Sudrajat, selama ini beberapa pendekatan yang biasa dilakukan
oleh LSM dalam penanganan anak-anak jalanan adalah sebagai berikut:
a. Street based, yakni model penanganan anak
jalanan di tempat anak jalanan itu berasal atau tinggal, kemudian para street
educator datang kepada mereka: berdialog, mendampingi mereka bekerja,
memahami dan menerima situasinya, serta menempatkan diri sebagai teman.
b. Centre based, yakni pendekatan dan penanganan
anak jalanan di lembaga atau panti. Anak-anak yang masuk dalam program ini ditampung
dan diberikan pelayanan di lembaga atau panti seperti pada malam hari diberikan
makanan dan perlindungan, serta perlakuan yang hangat dan bersahabat dari
pekerja sosial.
c. Community based, yakni model
penanganan yang melibatkan seluruh potensi masyarakat, terutama kelurga atau
orang tua anak jalanan. Pendekatan ini bersifat preventif, yakni mencegah anak
agar tidak masuk dan terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Keluarga diberikan
kegiatan penyuluhan tentang pengasuhan anak dan upaya untuk meningkatkan taraf
hidup, sementara anak-anak mereka diberi kesempatan memperoleh pendidikan
formal maupun informal, pengisian waktu luang, dan kegiatan lainnya yang
bermanfaat. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dan
masyarakat agar sanggup melindungi, mengasuh, dan memenuhi kebutuhan
anak-anaknya secara mandiri.[4]
C.
Masalah-masalah
yang Dialami Oleh Anak Jalanan
Anak jalanan berada dalam kondisi yang
memprihatinkan. Mereka menghadapi berbagai masalah yaitu:
1.
Keterbatasan dalam hal pemenuhan
kebutuhan dasar.
Anak jalanan tidak mampu memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan
tempat tinggal yang manusiawi. Umumnya mereka makan 2 kali sehari, dan jarang
ada makanan tambahan. Selanjutnya, dilihat dari pemenuhan kebutuhan pakaian,
umumnya mereka memiliki pakaian 2 stel. Kemudian dilihat dari kebutuhan tempat
tinggal, sebagian mereka menempati “rumah” dengan kondisi semi permanen dan
tidak permanen. Bahkan, sebagian menempati lorong-lorong pasar sebagai
“rumah” mereka.
Orang tua anak jalanan bekerja sebagai buruh, kuli bangunan,
tukang becak, pedagang/sektor informal dan buruh serabutan. Di salah satu
lokasi, ditemukan orang tua anak jalanan sebagian besar pengamen. Kondisi
tersebut mengakibatkan tumbuh kembang anak jalanan (terutama mental dan sosial)
tidak optimal. Hal ini akan berdampak pada kapasitas kecerdasan mereka yang
rendah, sikap dan perilaku implusif, agresif serta mental mereka rapuh ketika
mereka memasuki dunia dewasa.
2.
Kesehatan buruk.
Anak jalanan rentan terhadap penyakit kulit, ISPA, dan diare.
Kehidupan yang tidak teratur dan akrab dengan sumber-sumber polusi, merupakan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status kesehatan mereka. Selain itu,
mereka rentan mengidap penyakit menular seksual, akibat dari pergaulan bebas
dengan lawan jenis dan kelompok risiko tinggi menularkan penyakit menular
seksual.
3.
Partisipasi pendidikan
rendah
Anak jalanan tidak mampu berpartisipasi dan mengakses sistem
pendidikan. Karena itu, sebagian besar mereka berpendidikan rendah. DO pada
jenjang SD dan tidak pernah sekolah. Sebenarnya mereka ingin sekali bersekolah,
tapi kondisi ekonomi dan sosial keluarga tidak lagi memungkinkan mereka
bersekolah.
4.
Kondisi sosial, mental dan
spiritual tidak kuat/rapuh.
a.
Anak jalanan hidup di dalam
komunitasnya sendiri. Mereka tinggal di wilayah yang kurang menyatu dengan
wilayah lain. Jadi wilayah tinggal mereka relatif tertutup dari komunitas luar.
Di dalam komunitas itu, anak jalanan bersosialisasi dan mengembangkan pola
relasi sosial berdasarkan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam komunitas
mereka. Proses sosialisasi tersebut berlangsung bertahun-tahun dan bahkan
sebagian anak jalanan “mewarisi” orang tuanya. Pada beberapa kasus, orang tua
anak jalanan pernah menjadi anak jalanan juga ketika seusia anaknya, yaitu
melakukan kegiatan mengamen dan mengamis. Proses sosialisasi tersebut membentuk
sikap mental dan spiritual mereka yang seringkali tidak sesuai dan bahkan
bertentangan/melanggar aturan dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, berkata
kasar, jorok, tidak santun yang menurut masyarakat umumnya tidak baik bagi
mereka merupakan sesuatu yang baik. jadi, disini ada perbedaan pemahaman baik
dan buruk antara masyarakat umum dan anak jalanan. hubungan anak dengan orang
tua umumnya baik. mereka sebagian besar kembali ke orang tua setelah melakukan
aktivitas di jalanan. sebagian besar anak merasa bangga dengan orang tuanya
sebagai pekerja keras dan sayang kepada mereka. Orang tua anak mengetahui
kegiatan anaknya dan memberikan dukungan dengan menyiapkan keperluan anak untuk
melakukan aktivitas di jalanan. sebagian anak jalanan mengalami tekanan psikis
akibat perlakuan dari orang tuanya dan orang dewasa lain. Mereka mendapatkan
perlakuan salah, tindakan kekerasan, penelantaran dan eksploitasi secara
ekonomi. Ditemukan kasus dimana anak jalanan ditargetkan setiap hari membawa
uang jumlah tertentu ketika kembali kerumah. Bila uang yang dibawa pulang
kurang dari target, anak mendapatkan hukuman, seperti dimarahi, dipukul, tidak
boleh tidur di rumah dan tidak diberi makan. Tekanan psikis dari orang tua
tersebut makin bertambah, ketika mereka mendapatkan perlakuan dari orang-orang
dewasa di jalanan dan oknum petugas. Sebagian anak jalanan mendapatkan
perlakuan kurang bersahabat oleh oknum petugas trantib atau Satpol PP.
b.
Sebagian anak sudah
menyalahgunakan NAPZA dan pergaulan bebas dengan lawan jenisnya. Kondisi ini
juga menggambarkan rapuhnya mental dan spritual anak jalanan, baik karena
tekanan ekonomi maupun hubungan sosial yang buruk di lingkungan keluarga maupun
di dalam komunitas mereka.
Masalah anak jalanan adalah merupakan fenomena yang
biasa terjadi di kota-kota besar. Untuk bertahan hidup di tengah kehidupan kota
yang keras, anak-anak jalanan biasanya melakukan pekerjaan di sektor informal,
baik legal maupun ilegal seperti pedagang asongan di kereta api dan bus kota,
menjajakan koran, menyemir sepatu, mencari barang bekas atau sampah, mengamen
di perempatan lampu merah, tukang lap mobil, dan tidak jarang pula anak-anak
yang terlibat pada jenis pekerjaan berbau kriminal seperti mengompas, mencuri,
bahkan menjadi bagian dari komplotan perampok.[5]
D.
Model-model Konseling yang Dapat Diterapkan untuk Anak Jalanan
[1] Gesha Rahmalia, Agresi Berdasarkan Kategori Anak Jalanan
Children On The Street dan Vulnerable To Become Street Children Pada Usia
Remaja Binaan RPA IABRI Bandung Universitas
Pendidikan Indonesia, 2015, (Online), Tersedia: http://repository.upi.edu/16974/6/S_PPB_1006309_Chapter1.pdf
(25 April 2016)
[2] Puji
Endah Wahyu Ningsih, Penanganan Anak Jalanan Di Rumah Perlindungan
Sosial Anak Pelangi Oleh Dinas Sosial, Pemuda Dan Olah Raga Kota Semarang, 2013, (Online), Tersedia: http://lib.unnes.ac.id/18508/1/3301409091.pdf
(25
April 2016)
[3] Puji Endah Wahyu Ningsih, Penanganan Anak Jalanan Di Rumah Perlindungan
Sosial Anak…
[4]
Izza, Bimbingan dan Konseling Anak
Jalanan, 2012, (Online), Tersedia: http://izzamuanies.blogspot.co.id/2012/05/bimbingan-dan-konseling-anak-jalanan.html
(23
April 2016)
[5] Puji Endah Wahyu Ningsih, Penanganan Anak Jalanan Di Rumah Perlindungan
Sosial Anak…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar