DILEMA
(Awal Sebuah Pilihan : Sahabat dan Cinta)
Cerpen _Aiira
Aku masih terpaku menatap
lekat-lekat sosoknya.Seorang gadis yang sebaya denganku, yang telah
cukup lama menjadi teman akrabku.Aku pun hampir tidak mengingat,
bagaimana kami bisa saling mengenal dan berlanjut menjadi seorang
sahabat.Ya, sahabat. Sesuatu yang spesial bagi tidak sedikit orang.Sosok
yang selalu ada saat kau jatuh hingga kau telah berada di atas angin.
Keisya.Merupakan panggilan akrab untuknya.Dikatakan dewasa, dia sungguh
kekanak-kanakan.Disebut penyabar, tidak selalu seperti itu keadaannya.
Namun entah karena hal apa aku sanggup berlama-lama di dekatnya. Waktu
satu jam bukan lagi waktu yang cukup memuaskan bagi kami untuk saling
bercerita dan berkeluh kesah. Mulai dari segala hal yang sedih, aneh,
lucu, keren menurut versi kami, dan banyak lagi hal-hal tak penting yang
kami bahas.
‘Sahabat Selamanya’
Sekiranya itu adalah ikrar setia kami untuk terus bersama hingga tangan
Tuhanlah yang memisahkan. Jika kalian pernah membaca sebuah novel
Firefly Lane karya Kristin Hannah, kalian pasti akan menemukan dua tokoh
yang telah membuktikan kesetiaan janji mereka. Janji untuk bersahabat
selamanya.Terlalu berlebihan memang, jika kami harus disejajarkan dengan
kedua tokoh istimewa itu, Tully dan Kate. Namun, dalam segala situasi
yang penuh dengan kecambuk akan kelabilan ego kami masing-masing, kami
mencoba untuk bisa memenuhi janji kami sabagai sahabat selamanya.
Hingga semua itu berubah keadaannya.Terjadi begitu saja.Dan berhasil
menghancurkan semuanya dalam sekejap.Tepat di pertengahan Oktober lalu,
semua itu kepahitan berawal dan sebuah hubungan yang erat pun
berakhir.Penghianatan.Sebuah kata kunci yang terasa pantas untuk
disandang.
*******
“Sya,…….”. tiba-tibaKeisya datang padaku dengan berderai air mata. Seperti biasa, ia meletakkan kepalanya di pundakku.
“Ada apa, Kei? Cerita aja, nggak usah kaya begini lah”.
“Kak,….”. ucapnya menggantung. Tampak keraguan darinya untuk bicara.
“Iya, Dik… Ada apa?”
“Dia jahat, Kak… -hikshikshiks L-“, ucapnya terisak.
“Maksudmu?”
“Farhan mutusin aku, Kak”.
“Apa?Bagaimana bisa?Awas aja kalau aku ketemu ama dia. Huh!” seruku
geram penuh umpat pada Farhan.“Memang apa yang sudah terjadi?Kalian
bertengkar?”
Keisya hanya terdiam.Isaknya terdengar makin dalam.Makin perih menusuk
relung batinnya.“Baiklah, kalau kamu nggak bisa cerita nggak
apa-apa.Tapi ingat ya, aku selalu ada buat kamu”, ucapku berusaha
menghiburnya.
“…. J….”. ia hanya tersenyum dan menatapku mendalam. “Terimakasih Rasya.
Terimakasih”, ucapnya diiringi dengan jatuhnya bulir-bulir bening pada
pipinya.
“Yang penting kau bahagia, Dik. Bukankah kita akan menjadi sahabat selamanya?”.
“Untuk sahabat sejati selamanya”, sahut Keisya sambil mengaitkan
kelingkingnya pada kelingkingku.Tampak sebuah senyum tersungging di
wajahnya.Ia tampak manis, meski aku tahu ia tengah membohongi dirinya
sendiri dengan senyumnya yang penuh kegamangan saat ini.
******
Hari-hari muram buat Keisya telah berlalu.Dapat terlihat lagi auranya
yang periang dan senyumnya yang menggoda. Dengan centilnya ia
menghidupkan suasana di kelas kami. Mungkin, itu salah satu alasan
mengapa aku rela menjadi sahabatnya.
“Wah, lagi seneng ni ye…”, godaku padanya.
“Maksud kak Rasya apa sih?Dateng-dateng langsung nyeplos begitu? Plis deh,…”, timpalnya padaku.
“Sepertinya ada sesuatu nih. Makanya si putri ini lagi doyan nyegar-nyegir nggak jelas”.
“Emang menurut kakak begitu ya?” ujarnya tanpa menatap aku, sambil nyegar-nyegir tak jelas.
“Inggih, Sayang…. Emang ada apa toh? Cerita dong”.
“Rasya tahu Bramasta kan?”
“Emang kenapa?”
“Orangnya perhatian ya, Kak. Baaaiiikkk banget”
Aku sangat terkejut akan apa yang baru saja dikatakan Keisya. Entah aku
merasa ada sesuatu mengganjal di hatiku.Ada serpihan rasa tak rela yang
menghujam dada.Seketika lidahku kelu. Tanpa ingin membuatnya kecewa akan
responku yang tidak cukup baik, ku lemparkan senyum padanya. Berharap
ia tak menyadari akan adanya kegamangan dalam hatiku.
*****
Mulai saat itu, Keisya tak lepas dari topic yang membahas tentang
Bramasta.Anak laki-laki di sekolah kami yang bisa dikatakan tenar.
Berperawakan tinggi, putih, bermata sedang, dan jika tersenyum maka akan
timbul sebuah cekungan di sudut pipinya. Dan semenjak hari itu pula,
waktu malamku terasa panjang dan melelahkan.Bramasta adalah kawanku saat
kelas 4 SD dahulu. Kedua orangtua kami pun sudah cukup mengenal.Tak
jarang Ibu mengundang mereka –Bramasta dan keluarga- dalam setiap acara
penting keluarga kami, begitu juga sebaliknya.Kami tergolong dekat,
walau kini pada nyatanya hubungan kami semakin merenggang. Bahkan jika
aku menceritakan hal ini pada teman-teman di sekolah ku kini, sungguh
mereka akan benar-benar tidak percaya. Mustahil untuk dapat dipercaya
oleh mereka.Tak apalah, sempat mengenal bahkan mejadi kawannya pun jadi
hal istimewa buatku.Dan semua yang telah terjadi antara aku dan
Bramasta seakan sudah cukup memberikan alasan untuk menumbuhkan rasa
kagum dari ku untuknya.
Dengan terus melajunya sang waktu, rasa kagum itu kian menjalar,
merambat dan bersarang ke dalam ruang-ruang kosong di benakku.Semakin
lama, semua rasa itu kian mendalam. Dan kini, . . . .tepat dihadapanku.
Seorang gadis yang telah kuanggap bak saudara, menceritakan sosok
Bramasta dengan binar-binar kekaguman yang tampak di matanya.
“Apa kamu mengagumi, Bramasta?” tanyaku tiba-tiba pada Keisya.Semua terasa terlontar begitu saja dari mulutku.
Keisya diam., tersenyum dan melempar pandangannya pada goresan putih
yang menggantung di langit biru yang gagah. “Menurutmu Rasya? Apakah
seperti itu adanya?” ucapnya kemudian. Tergores sebuah senyum dari
bibirnya.
*****
Entah untuk yang ke-berapa kalinya aku membolak-balikkan tubuhku di atas
ranjang.Nyanyian jangkrik terdengar makin lantang, seiring dengan
terhentinya suara riuh manusia yang rutin terdengar di pagi hari. Dari
balik jendela, cahaya bulan telah memberi warna perak pada pepohonan di
luar sana. Lambaian tirai-tirai di kamarku seakan mengabarkan bahwa sang
angin darat telah menjaga nelayan-nelayan yang tengah memulai harinya
demi sepincuk nasi. Ku lempar pandangan pada jam dinding yang
menggantung di seberang ranjangku. Pukul 02.00.Hingga saat ini kedua
mataku enggan terpejam, walau perihnya mata ku rasa sudah.Kata-kata
Keisya pagi tadi masih terngiang jelas dalam anganku.“Ah, aku tak boleh
seperti ini. Pun tak ada guna aku mementingkan hatiku sendiri.Toh,
Bramasta tak memiliki perasaan apapun padaku. Bukankah cinta tak harus
memiliki?” batinku lirih.Cinta.Inikah rasanya?Sesuatu yang selalu
terdengar indah, magis, dan luar biasa, telah menjangkit diriku.Sesuatu
yang selalu dibuat istimewa oleh para pengarang maupun penyair. Tapi,…
mengapa semua seperti ini? Terasa sakit, berat, dan memilukan.Makin
meracuni alam pikiranku yang kalut.Sungguh buruk kenyataan cinta yang
sesungguhnya.Namun semua kembali pada satu pertanyaan singkat,
“Pantaskah aku merasakan cinta saat ini?”
*****
“Sya,…Rasya!” panggil Nadine tergopoh-gopoh.
“Ada apa?Santai aja lagi, nggak usah lebay sampai mengos-mengos begitu”.Ucapku sekenanya.
“hosh.. hosh.. Itu…hosh hosh… emmm, i..ttu lho…” ucapnya tak jelas sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Hadeh, ngomong apa to, Mbak yu… atur napas dulu dah, tenang”.
Dalam waktu sepersekian detik, Nadine kembali bernapas normal. “Kei,….Kei,.. Kei, Rasya..”
“Kei? Ada apa? Kenapa Keisya?” responku panik seketika.
“Dia lagi berantem di kantin. Anak-anak malah pada nyorakin mereka, ngomporin gitu-….”
“Oke, makasih”.Responku singkat dan segera berlari ke arah kantin.Walau
aku tahu bahwa Nadine belum selesai bicara tadi. Aku harap ia tidak
marah dan bisa mengerti.
Gerombolan
anak laki-laki dan perempuan riuh, membentuk formasi lingkaran tak
beraturan. Mereka meneriakkan nama Kei dan Teressa. Segera ku berlari
menuju kerumunan dan beradu badan dengan yang lainnya agar aku dapat
menempati posisi terdepan. Begitu sampai di barisan depan, dapat ku
lihat Kei dan Tere yang saling menjambak. Wajah mereka berdua merah
padam, sama-sama terbakar emosi menggebu.Tak membuang waktu aku menuju
ke tengah-tengah berharap dapat melerainya.
“Hei, hentikan!Hentikan semua ini!” teriakku cukup keras.Sialnya suaraku
kalah terdengar daripada teriakan masal yang tengah mendukung jagoan
mereka yang tengah bertanding.
‘Bruak!!!’
Aku jatuh tersungkur saat aku berusaha menengahi mereka berdua. Tangan
Tere mendorong tubuhku keras secara tidak sengaja –mungkin memang tak
sengaja, aku tak tahu-. Keisya menatapku yang merintih lekat-lekat.Ia
melepaskan diri dari rengkuhan tangan Tere, dan bergegas menghampiriku.
Masih dengan wajah yang merah padam, Tere mentap aku dan Keisya
bergantian.Tatapan yang seakan bermakna,
aku-akan-memberikan-pelajaran-yang-lebih-dari-ini-anak-bau-kencur. Ia
berlalu dengan senyum puas karena merasa telah menang atas Keisya.
“Kamu nggak apa-apa, Rasya?”
“Yang seharusnya Tanya itu aku, Bodoh. Kamu nggak apa-apa?”
“Sial, semua gara-gara cewek jelek dan bawel itu.Awas aja dia. Berani
banget dia macem-macem sama kamu, Sya”, umpatnya kesal bukan main.
Kei berdiri dan berjalan menghampiri Tere yang melangkah belum jauh dari
TKP sebelumya. “Tere! “ teriak Kei. Tere berbalik, “Apa lagi anak
bawang?”
‘Plak!’
Pukulan keras melayang dari tangan Kei ke pipi Tere. Saat tangan Tere
hampir meyentuh permukaan pipi Kei, sebuah tangan menghentikannya.
“Bramasta”, ucap Tere dan Kei hampir bersamaan.
“Udahlah, kalian jangan kayak anak kecil sepeti ini.Apa kalian nggak
mikir kalau perbuatan kalian mencoreng nama baik kalian sendiri?” ujar
Bramasta sok bijak.
Tanpa berkata
sepatah katapun, Tere berlalu.Terbesit kilatan amarah yang kian
berkobar di matanya.Bramasta menatap wajah Keisya teliti.“Panampilanmu
acak adul banget.Sumpah. Kamu juga luka, di obtain ke UKS gih,…….”
Bulir-bulir bening mengalir mulus di pipiku.Aku tak kuasa lagi untuk
menahan genangannya. Hatiku benar-benar terasa terguncang melihat apa
yang terjadi pada Rasta dan Kei. Mereka kini tengah berdiri di
hadapanku, berjarak sangat dekat. Tampak rasa cemas dari air muka Rasta.
Aku berlari.Menjauh dari pemandangan yang memekakkan luka di hatiku.Aku
berlari megikuti kemana pun langkah kaki terarah.
*****
“Kak Rasya, tunggu..”, Kei memanggilku yang sedari kemarin berusaha
menghindrinya. “Sya, kamu marah sama aku?Apa karena aku berantem waktu
itu ya? Aku minta maaf”.
Ku tatap mata bulatnya mendalam. Mata yang membuat setiap orang akan
menaruh simpati padanya. “Iya aku maafin kok.Lain kali jangan kamu
ulangi, inget orangtuamu nggak pernah ngajarin kamu untuk berantem kaya
ayam bodoh.Apalagi ini Cuma hal sepele”.
“Maaf, Sya. Aku….” Air mata menggenang di kedua pelupuk matanya, selang
beberapa detik bulir-bulir bening itu tumpah ruah. “Maafkan aku, Sya,,,”
Ku raih tubuhnya dan ku dekap ia. Aku beruaha untuk menentramkan
hatinya.“Iya, kei aku maafin kamu. Dan aku juga minta maaf ya, Kei….”
Kei menarik dirinya dari tubuhku.Ia menatapku, “Maaf? Untuk apa?”
“Untuk,….segalanya, Kei. Segalanya”, jawabku mnggantung.Aku terus
terhanyut dalam tatapan matanya. “Kei maafkan aku yang belum seutuhnya
rela melepaskan perasaanku pada Rasta untukmu”, batnku dalam hati.
“Oke, daripada larut dalam kesedihan yang super nggak jelas gimana kalau
nanti kita hang out. Makan bakso atau mi ayam?” tawar Kei padaku,
sambil menyeka jalur yang membekas atas air matanya.
“Aku kenyang. Mungkin lain kali. Aku minta maaf”.
“Sayang sekali. Tapi, tak apalah”
|”Emm, kalau boleh tahu ada masalah apa, antara kamu sama Tere?”
“O, jadi gini ceritanya-..”.
*****
Matahari kian meninggi.Panasnya sungguh menyegat, serasa membakar hangat
ubun-ubun kepala.Ku kayuh sepeda menuju perpustakaan umum.Dalam kondisi
kalut seperti ini, ku luangkan sedikit waktu untuk sekedar mambaca
buku, berharap semua masalah dapat terlupakan walau hanya sekejap.
Begitu sampai di dalam. Ribuan buku yang tertata rapi dalam rak-rak yang
saling berjajar. Ku perintahkan langkah kakiku menuju kumpulan buku
yang berlabel “Sastra dan Karya Fiksi”.
“Rasya!” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing bagiku terdengar keras memanggil.
“Hei, Kei! Tumben ke sini.Sama…?” belum genap aku menyelesaikan kalimat
tanyaku, sosok Rasta menyusul di belakang Kei.“Sepertinya aku sudah tahu
jawaban atas pertanyaanku sendiri”. ujarku kemudian.
“Ku akui kau memang cerdas, Rasya”.
“Hei, Rasya! Udah lama banget nggak ketemu.Ngilang kemana aja kamu?”Rasta tiba-tiba datang dan menyapa ku.
“Bukankah yang selama ini sering ngilang itu kamu ya?Secara anak tenar gitu?”
“Bisa aja kamu, Sya.Kamu belum berubah ya.Masih pinter ngeles kaya dulu”.
“Oh ya?” jawabku singkat.“Aku emang nggak berubah, Rasta.Begitu juga
perasaanku ke kamu. Mungkin selamanya akan tetap sama”, benakku
kemudian. Jujur saja, seketika jantungku berdebar kencang, aliran
darahku mengalir begitu cepat.Tubuhku gemetar.Tangan dan kakiku terasa
kesemutan.
“Ehem..ehem… ada yang dikacangin di sini nih”, Kei berkomentar atas suasana yang terjdi.
“Wah, ada yang marah ni ye”, godaku.
“Oke.Kei, bisa kamu cerita gimana kamu bisa kenal dan bersahabat sama cewe bawel, cerewet, dan cengeng kayak dia?”
“Oh, gitu? Awas kamu ya”.
“Kamu ngancem ceritanya nih?” goda Rasta padaku.
Mulai detik itu, ku rasakan kembali kedekatanku dengan Rasta. Dan dapat
ditebak, aku semakin sukar menghapusnya dari hatiku. Seakan ada harapan
untukku. Jujur saja, aku merasa dia sangat perhatian kepadaku. Aku
nyaman berada di dekatnya. Aku sering menghindari kontak mata dengannya,
aku tak kuasa menatapnya lama. Tak jarang Rasta tersenyum geli dengan
tingkahku yang serba salah. Namun, kami tidak hanya berdua saja dalam
melewati hari. Ada Keisya. Sahabatku yang juga saingan hatiku akan
Rasta.*****
‘Drrrrtt,,,ddrrrrtt,,’
Handphone ku bergetar.Ada sebuah pesan dari Rasta. Jujur, aku telah
menantikannya sejak semalam. “. . . Happy Birthday, Friend. Moga tambah
suskses aja dan selalu berada dalam naunagn rahmat-Nya.Amiin. O ya, Sya
hari ini aku mau ngundang kamu untuk makan bareng keluarga aku.Toh, udah
lama juga kita nggak makan bareng.Jangan lupa kenakan gaun ungu itu.
Aku harap kau menyukainya. . . .”, sms panjang lebar dari Rasta
membuatku gembira dan bingung. Gembira tas undangannya dan bingung
perkara gaun ungu yang ia sebutkan dalam pesannya. Gaun apa yang ia
maksudkan?
“Kei, kamu nerima titipan nggak? Kiriman pos gitu, ada nggak?” tanyaku
pada Keisya yang kini tinggal seatap denganku. Kini lagi-lagi kami
kuliah di tempat yang sama. Dan ujung-ujungnya, kami memutuskan untuk
tinggal di rumah kos satu atap.
“Hah, ng..ng kiriman… tt .. ttittipan? Ng..ng.. ng… aku nggak tahu tuh.
Emang kenapa?” jawabnya dengan air muka yang aneh seketika.
“Nggak, aku butuh banget barang itu.Ada hal penting untukku.Terimakasih”.
“Yap, aku pasti akan memberimu kabar seputar kiriman yang datang, Rasya. Itu pasti.”
“Aku percaya padamu, Kei”.
“Ngng, Rasya,…”
“Iya, Kei?”
“Selamat ulang tahunJ”
“Terimakasih, Sobat. Kau yang terbaik”.
*****
Hatiku masih terbalut gelisah dan bersalah. Gaun pemberian Rasta tak
berjejak, hilang. Aku pun tak menghadiri undangan makan malam dari
keluarga Rasta. Aku tak tahu harus berkata apa pada mereka perkara gaun
yang hilang itu. Aku malu. Rasta maafkan aku.
‘Bruak!!’
Sebuah kotak bersampul
hitam jatuh dari lokerku. Penasaran, ku buka bungkusan kotak itu.Dan ku
lihat isinya, sebuah kaset rekaman dan sebuah buku harian yang persis
dengan milik Keisya. Apa maksudnya ini. Tak betah didekap penasaran, ku
setel rekaman itu. Dan ternyata……
******
“Apa maksudmu melakukan ini semua, Keisya? Apa salahku padamu?” makiku
pad Keisya setibanya aku di rumah. Awalnya aku tak percaya akan apa yang
ku lihat dalam rekaman itu, tapi pernyataan Keisya pada buku hariannya
cukup menjadi bukti.
. . . Tuhan, sungguh aku tak rela ini semua terjadi.Ternyata selama ini
Kak Rasta lebih menaruh kagum pada Rasya.Bukan padaku! Tadi pagi, aku
menemukan sebuah bingkisan bersampul ungu di depan pintu. Dibawa
penasaran, kemudin ku buka isinya. Ternyata itu adalah kado ulang tahun
dari Rasta untuk Rasya .Sungguh hati ini terbakar. Hatiku berkecamuk.
Haruskah aku utamakan sahabatku atau perasaanku? Tak berselang lama, ada
seorang gadis kecil melintas di hadapanku. Ku panggil ia, dan ku
berikan gaun ungu itu padanya. Aku berkata padanya, bahwa ia harus
memakai gaun ini jika tiba waktunya nanti. Ia tersenyum bahagia dan
berlalu. Kembali aku menitihkan air mata. Rasya, maafkan aku.Sungguh aku
tak kuasa menerima semua ini.. Rabu, 20 Oktober. . . .
“Rasya, aku… ak akk,..akkuuuu….”
“Sudah cukup, Kei.Aku lelah denganmu. Benar apa yang Tere katakan
padaku. Kau memang tak punya hati. Kamu lebih mementingkan urusan dan
kebutuhanmu sendiri.”.
“Tere? Apa yang telah ia katakan?”
“Tak penting. Yang terpenting adalah, aku telah menyadari bahwa kau adalah seorang penghianat besar. Aku kecewa padamu”.
“Aku bukan penghianat. Aku sahabatmu, Sya’.
“Sahabat? Tidak lagi untuk sekarang dan seterusnya”. Usai bicara aku lekas berlalu.
“Rasya,…”
Langkahku terhenti. Hatiku berontak untuk mencabut semua yang telah ku
ucapkan. Namun, emosiku tak dapat teredam lagi. “Oh ya, Kei. Mulai siang
ini aku tidak lagi seatap denganmu. Semoga kau segera tenang atas
kepergianku. Dan,… terimakasih”, ucapku tanpa berbalik.
******
‘drrrrtttt…. Dddrrrtttt…’
Handphoneku bergetar untuk yang ke-sekian kalinya. Terpampang nama
Keisya di layar handphoneku. Sudah hampir dua minggu aku tak menjawab
sms atau menerima panggilan darinya.Hatiku masih nyeri saat mengingat
semuanya. Aku juga menghindari Rasta. Jika Keisya memang benar-benar
menginginkannya, akan ku relakan dia. Mungkin Rasta benar-benar bukan
untukku.
Ku tatap lekat-lekat foto yang tengah ke dekap. Bergamabar 3 remaja,
satu laki-laki dan dua wanita. Mereka tersenyum riang menatap kamera.Di
bawahnya tertera tulisan SAHABAT SEJATI SELAMANYA.
Air mata mengucur deras.Menusuk luka hati yang seakan terlanjur
bernanah.Luka hati yang tak pernah aku inginkan.Luka hati yang telah
mengorbankan sesuatu berharaga dalam duniaku, persahabatanku..
Baca Juga
Cerpen Remaja yang lainnya dan saya Ucapkn Banyak Terimakasih