Saat aku beranjak dewasa, aku mulai
mengenal sedikit kehidupan yang menyenangkan, merasakan kebahagiaan
memiliki wajah yang tampan, kebahagiaan memiliki banyak pengagum di
sekolah, kebahagiaan karena kepintaranku yang dibanggakan banyak guru.
Itulah aku, tapi satu yang harus aku tutupi, aku malu mempunyai seorang
ibu yang BUTA! Matanya tidak ada satu. Aku sangat malu, benar-benar malu.
Aku sangat menginginkan kesempurnaan
terletak padaku. Aku ingin menjadi yang terbaik, tak ada satupun yang
cacat dalam hidupku juga dalam keluargaku. Saat itu ayah yang menjadi
tulang punggung kami sudah dipanggil terlebih dahulu oleh yang Maha
Kuasa. Tinggallah aku anak semata wayang yang seharusnya menjadi tulang
punggung pengganti ayah. Tapi semua itu tak kuhiraukan. Aku hanya
mementingkan kebutuhan dan keperluanku saja. Sedang ibu bekerja membuat
makanan untuk para karyawan di sebuah rumah jahit sederhana.
Pada suatu saat ibu datang ke sekolah
untuk menjenguk keadaanku. Karena sudah beberapa hari aku tak pulang ke
rumah dan tidak menginap di rumahku. Karena rumah kumuh itu membuatku
muak,membuat kesempurnaan yang kumiliki manjadi cacat. Akan kuperoleh apapun untuk menggapai sebuah kesempurnaan itu.
Tepat di saat istirahat, salah satu guru yang berpapasan denganku di kantin sekolah memanggilku. “Hocky Nawawie”
Kau kedatangan tamu!” ucap guru yang berpapasan denganku itu. “Siapa
Bu?” Lihat saja ke ruang tamu sekolah!” Perintah guru itu segera
kulaksanakan. Aku berjalan melewati lorong-lorong kelas yang sedang
ramai. Anak-anak sepantarku sedang asyik-asyiknya menikmati hidup yang
semu ini. Beberapa menit kemudian sampailah aku di depan pintu ruang
tamu sekolah. Kulihat sosok wanita tua sedang duduk. Bajunya pun
bersahaja rapih dan sopan. Itulah ibu ku yang mempunyai mata satu. Dan
yang selalu membuat aku malu.
“Hockyyyyyyy” Ibu memanggilku.
“Mau ngapain ibu ke sini? Ibu datang
hanya untuk mempermalukan aku!” Beberapa anak-anak yang sedang berjalan
di depan ruang tamu sekolah melihat ke dalam ruangan yang menjadi neraka
bagiku. Bentakkan dariku membuat dirinya ingin segera bergegas pulang.
Dan itulah memang yang kuharapkan. Ibu pun bergegas keluar dari
sekolahku.
Karena kehadirannya itu aku benar-benar
malu, sangat malu. Sampai beberapa temanku berkata dan menanyakan.
“Hocky. IBU MU MATANYA SATU YAH?”Terasa suntikan yang mematikan mendapat
pertanyaan seperti itu, aku hanya melewatinya dengan wajah sinis.
Beberapa bulan kemudian aku lulus
sekolah dan diterima di sebuah Institut Negeri di Singapura. Aku
mendapatkan beasiswa yang ku incar, kukejar dan aku ternyata berhasil
mendapatkannya. Dengan bangga kubusungkan dada pada orang-orang yang
sempat menghinaku. Aku berangkat pergi merantau ke Singapura tanpa
memberi tahu Ibu karena bagiku itu tidak perlu. Aku hidup untuk diriku
sendiri. Persetan dengan Ibuku. Seorang yang selalu mnghalangi
kemajuanku. Karena aku MALU.
Di Singapura, aku menjadi mahasiswa
terpopuler karena kepintaranku. Aku telah sukses dan pada suatu saat aku
menikah dengan seorang gadis Indonesia yang menetap di Singapura.
Singkat cerita aku menjadi seorang yang sukses, sangat sukses. Tempat
tinggalku sangat mewah, aku mempunyai satu anak perempuan berusia tiga
tahun dan aku sangat menyayanginya. Bahkan aku menjaminkan nyawa untuk
putriku itu.
10 tahun aku menetap di Singapura,
belajar dan membina rumah tangga dengan harmonis dan nyaris sama sekali
aku tak pernah memikirkan nasib ibuku. Ibu yang telah melahirkanku ke
dunia ini, membuatku berpijak di dunia. Sedikit pun aku tak rindu
padanya, aku tak mencemaskannya. Aku BAHAGIA dengan kehidupan ku
sekarang.
Hingga pada suatu hari, putri sulungku
sedang asyik bermain di depan pintu. Tiba-tiba datang seorang wanita tua
renta dan sedikit kumuh menghampirinya. Dan kulihat dia adalah Ibu,
Ibuku datang ke Singapura. Entah untuk apa dan dari mana dia mendapatkan
ongkos. Seketika saja Ibu ku usir. Dengan enteng aku mengatakan:
“HEY, PERGILAH KAU. KAU MEMBUAT ANAKKU
TAKUT!” Dan tanpa membalas perkataan kasarku, Ibu lalu tersenyum, “MAAF
KALAU BEGITU SAYA SALAH ALAMAT”
Tanpa merasa terhunus, aku masuk ke
dalam rumah. Sempat istri menanyakan siapa yang datang dan kumarahi, dan
aku menjawab “PENGEMIS”.
Beberapa bulan kemudian datanglah sepucuk surat undangan reuni dari sekolah SMA ku, SMA N 1 BREBES. Aku
pun datang untuk menghadirinya dengan beralasan pada istriku bahwa aku
akan dinas ke luar negeri. Singkat cerita, tibalah aku di kota
kelahiranku. Tak lama hanya ingin menghadiri pesta reuni dan sedikit
menyombongkan diri yang sudah sukses ini. Berhasil aku membuat seluruh
teman-temanku kagum pada diriku yang sekarang ini. Satu hal yang
kutakutkan, mereka menanyakan ibu ku yang memalukan itu, karena matanya
yang BUTA. Tapi untung saja tak ada sepatah kalimat “IBU” yang
menghantar padaku.
Reuni selesai. Sebelum pulang ke Singapura, aku ingin melihat keadaan rumahku di desa kecil bernama Pebatan.
Tak tau perasaan apa yang membuatku melangkah untuk melihat rumah kumuh
dan wanita tua itu. Sesampainya di depan rumah itu, tak ada perasaan
sedih atau bersalah padaku, bahkan aku sendiri jijik melihatnya.
Dengan rasa tidak berdosa, aku memasuki
rumah itu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ku lihat rumah ini
begitu berantakan bak kapal pecah yang baru saja terjun dan berhamburan
ke tanah. Aku tak menemukan sosok wanita tua di dalam rumah itu,
entahlah dia ke mana tapi aku merasa beruntung tak menemuinya. Bergegas
aku keluar dan tiba-tiba salah satu tetangga dekat rumahku mengenaliku.
“Hocky? akhirnya kau datang juga. Ibu mu telah meninggal dunia dua minggu yang lalu
“OH…
Hanya perkataan itu yang bisa keluar
dari mulutku. Tak tau mengapa tak ada tetesan air mata. Jangakan tetesan
air mata, sedikit rasa sedih saja tak aku rasakan saat mendengar ibuku
meninggal.
“Ini, sebelum meninggal, Ibumu memberikan surat ini untukmu”
Ibu-ibu yang menghampiriku segera bergegas pergi. Ku buka lembar surat yang sudah kucal itu.
Untuk anakku Hocky yang sangat Aku cintai,Demi Tuhan yang menggenggam nyawaku, yang menguasai ruhku, yang mencintaiku seperti aku mencintaimu walau kau sangat membenciku.Anakku Hocky, Ibu tahu kau akan datang ke acara Reuni yang diadakan oleh sekolahmu. Sejujurnya ibu sangat merindukanmu, teramat dalam sehingga setiap doaku pada Tuhan pemilik arsy! Aku meminta ampunan untukmu nak.Asal kau tau saja Hocky anakku tersayang, mata yang membuat mu malu ini ada di salah satu dari matamu. Waktu kau kecil, kau dan Ayah mu mengalami kecelakaan yang hebat, tetapi Ayah tidak terluka apa-apa sedangkan mata kananmu mengalami kebutaan. Aku tak tega anak tersayangku ini hidup dan tumbuh dengan mata yang cacat maka aku berikan satu mataku ini untukmu.Ya ….. salah satu matamu adalah mataku.Kau melihat dengan mataku nak, dan aku bangga padamu karena kau bisa meraih apa yang kau inginkan dan cita-citakan.Do’akanlah aku diterima di sisiNya. Saat aku menulis surat ini, aku yakin maut sudah mengetuk pintu kehidupanku.Ibumu tercinta
Bak petir di siang bolong yang
menghantam seluruh saraf-sarafku, Aku terdiam! tubuhku bergetar keras,
air mataku sungguh tak kuasa ku bendung. Ya Allah Ya Robb…………..
Dalam cerita ini kita hendaknya dapat
mengambil suatu pelajaran, sejelek apapun orang tua kita mereka tetaplah
orang yang paling berrjasa dalam hidup kita. Hidup kita pun tidak akan
sempurna bila kita durhaka kepada orang tua. Sayangilah orang tua kita
semasa dia hidup karena kita tidak akan bisa membalas jasa mereka
walaupun kita mengabdi kepadanya seumur hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar