Senin, 09 Mei 2016

KONSELING DI LEMBAGA PERMASYARAKATAN



LEMBAGA PERMASYARAKATAN

A.      Pendahuluan
Tidak ada manusia yang sempurna, setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Berbagai macam kesalahan yang dibuat seseorang terkadang mengharuskan seseorang menekam dipenjara atau lembaga permasyarakatan. Dalam pasal 3 UU No.12 tahun 1995 tentang permasyarakatan tempat untuk melaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik permasyarakatan. Sebelum dikenal istilah lapas di indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga pemasyarakatan merupakan unit pelaksanaan teknis di bawah direktorat jenderal permasyarakatan kementrian hukum dan hak azazi manusia.
Merupakan himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dikehidupan masyarakat. Kalau dilihat dari namanya lembaga permasyarakatan mempunyai fungsi memasyarakatkan para narapidana supaya dapat diterima dikalangan masyarakat. Adapun menurut pasal 3 UUD No.12 tahun 1995 tentang permasyarakatan, fungsi lembaga permasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan permasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

B.       LEMBAGA PERMASYARAKATAN
1.    Keberadaan Lembaga Permasyarakatan
Pengertian lembaga permasyarakatan dalam pasal 1 angka 3 undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang permasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik permasyarakatan. Lembaga permasyarakatan sebagai unit pelaksanaan teknis dibidang pembinaan narapidana berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Dapartemen Hukum dan HAM.
Lembaga permasyarakatan didirikan disetiap ibukota kabupaten atau kotamadya, namun bila diperlukan dapat didirikan ditingkat kecamatan atau administratif. Hal tersebut dimaksudkan guna meningkatkan mutu pelayanan hukum dan pemerataan memperolaeh keadilan bagi warga binaan permasyarakatan dan keluarganya dengan memperhatikan perkembangan wilayah atau luar wilayah, pertambahan penduduk dan peningkatan jumlah tindak pidana yang terjadi diwilayah kecamatan atau kota administrasi yang bersangkutan.
Untuk mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efesien, maka lembaga permasyarakatan dibagi kedalam beberapa kelompok yaitu:
a.    Menurut usia
1)   Lembaga permasyarakatan untuk anak
2)   Lembaga permasyarakatan khusus pemuda
3)   Lembaga permasyarakatan untuk dewasa
b.    Menurut jenis kelamin
1)   Lembaga permasyarakatan khusus wanita
2)   Lembaga permasyarakatan khusus laki-laki
c.    Menurut kapasitasnya
1)   Lembaga permasyarakatan kelas I
2)   Lembaga permasyarakatan kelas II
3)   Lembaga permasyarakatan kelas III

Kedudukan lembaga permasyarakatan (LAPAS) adala unit pelaksanaan teknis dibidang pembinaan narapidana. Lembaga permasyarakatan berada dibawah departemen hukum dan HAM. Lembaga permasyarakatan bertanggung jawab langsung kepada kantor wilayah dapartemen Hukum dan HAM. Lembaga permasyarakatan secara teknis adalah tempat pembinaan bagi para narapidana.
Lembaga permasyarakatan (LAPAS) bertugas memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pelayanan masyarakat, bimbingan klien sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini bertujuan agar setelah keluar dari lapas atau masa tahanan berakhir narapidana dapat kembali hidup dilingkungan masyarakat dan dapat diterima kembali oleh lingkungan.

2.    Pola Pembinaan dan Bimbingan di Lembaga Permasyarakatan
Pembinaan bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani masa pidananya tidak akan mengulangi perbuatannya (kejahatan) dan dapat hidup bermasyarakat secara wajar dan ikut berpartisipasi didalam pembangunan. Oleh karena itu setiap narapidana didalam lembaga permasyarakatan dibina dan dididik agar menyesali perbuatannya dan mengembangkannya menjadi warga binaan permasyarakatan yang baik dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta dibina dalam hal kemandirian sebagai bekal hidup dikemudian hari apabila sudah pulang dari lembaga permasyarakatan.
Pada dasarnya ruang lingkup pembinaan dapat dibagi kedalam dua bidang yakni:
a.    Pembinaan kepribadian yang meliputi:
1)   Pembinaan kesadaran beragama
Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama memberi pengertian agar warga binaan permasyarakatan dapat menyadari akibat dari perbuatannya yang benar dan perbuatannya yang salah.
2)   Pembinaan kesadaran berbangsa dan beragama
Menyadarkan mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik yang dapat berbakti bagi bangsa dan negaranya. Perlu disadarkan bahwa berbakti untuk bangsa dan negara adalah sebagian dari iman (taqwa).
3)   Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berfikir warga binaan permasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan.
4)   Pembinaan kesadaran hukum
Pembinaan kesadaran hukum bagi warga binaan permasyarakatan dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat, mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya prilaku setiap warga negara indonesia yang taat kepada hukum.
5)   Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat
Pembinaan dibidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas narapidana mudah diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya. Untuk mencapai ini, kepada mereka selama dalam lembaga permasyarakatan dibina terus untuk patuh beribadah dan dapat melakukan usaha sosial secara gontong royong sehingga pada waktu mereka kembali kemasyarakat mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lingkungannya.

b.    Pembinaan kemandirian
Pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program:
1)   Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya kerajinan tangan, industri, rumah tangga, reparasi mesin dan alat-alat elektronika dan sebagainya.
2)   Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi dan  jadi (contoh mengolah rotan menjadi perabotan rumah tangga, pengolahan makanan ringan berikut pengawetannya dan pembuatan batu bata, genteng ,batako).
3)   Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing. Dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakat tertentu diusahakan pengembangan bakatnya itu. Misalnya seorang narapidana yang berbakat dalam bidang desain grafis akan dibina agar nanti pada saat keluar penjara dapat bekerja atau membuka usaha desain grafis.
4)   Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian (perkebunan) dengan menggunakan teknologi madya atau teknologi tinggi, misalnya industri kulut, industri pembuatan sepatu kualitas eksport, pabrik tekstil, industri minyak atsiri dan usaha tambak udang.

Dalam proses pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan dibutuhkan sarana  dan prasarana pendukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
a.    Sarana gedung Pemasyarakatan k
Gedung pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni  di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan lembaga pemasyarakatan merupakan warisan colonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan “angker” dan keras, tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menabah kesan seram penghuninya.
b.    Pembinaan Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahaan).
c.    Petugas Pembinaan di Lembaga  Pemasyarakatan
Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di  lembaga pemasyarakatan, ternyata  dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menujang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengigat sebagian besar dari mereka relative belum ditinjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyetuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.

3.    Masalah-Masalah yang Dialami oleh Napi di Lembaga Pemasyarakatan
Berbagai masalah dapat terjadi di lembaga pemasyarakatan atau lapas, diantaranya :
a.    Kelebihan Kapasitas
Jumlah penghuni lapas yang melebihi daya tampung menjadi persoalan utama. Demikian juga kuantitas dan kualitas petugas penjara yang sangat minim adalah permasalahan klise namun sangat mendasar dan sangat mendesak untuk segera di tuntaskan. Seperti yang belum lama terjadi di lapas Tanjung Gusta Medan. Jumlah penghuninya mencapai 2.600 orang meski daya tampungnya hanya untuk 1.054 orang. Kapasitas lapas itu melebihi kuota sampai 247 persen.[1]
b.   Kerusuhan
Kerusuhan yang terjadi di dalam lapas dapat disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya adalah kelebihan kapasitas lapas yang menyebabkan oleh berbagai hal. Di antaranya adalah kelebihan kapasitas lapas yang menyebabkan minimum fasilitas untuk setiap penghuni lapas, seperti minimnya pasokan air dan listrik. Adanya nara pidana yang terlibat perselisihan juga menyebabkan kerusuhan di lapas.
c.    Stress Pada Penghuni Lapas
Ketika seseorang “harus” memasuki kehidupan barunya di penjara, mau tidak mau ia harus mengalami banyak kehilangan, seperti kehilangan kemerdekaan yang disertai kehilangan otonomi, kehilangan rasa aman, kehilangan pekerjaan serta pelayanan pribadi.
Kehilangan-kehilangan tersebut secara sendirimerupakan sumber stress bagi seseorang. Tidak diherankan jika lapas rutan menjadi tempat yang pontesial bagi timbulnya gangguan-gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi.
Kehilangan atau terpisah dengan anggota keluarga, perubahan aktifitas social, perubahan lingkui ngan (fisik maupun sosial) serta mendadak, kehilangan pekerjaan, dalam skala stress adalah sumber stress yang pontensial menyebabkan gangguan psikologis seperti gangguan kecemasan dan depresi, bahkan dalam kondisi ekstrim sering kali diikuti dengan tindakan percobaan bunuh diri.[2]
d.   Kekerasan dalam Lapas
Kekerasan dalam lapas tidak dapat dihindarkan, kekerasan yang terjadi sesame penghuni lapas, karena perselisihan antara penghuni lapas atau warga bina. Kekerasan juga dapat terjadi pada narapina yang dilakukan sipir penjara dari uraian tadi dapat berbagai masalah yang mukin dihadapi oleh narapidana dalam lapas. Diantaranya kebihan kapasitas dalam lapas yang akan menyebabkan kekurangan pasilitas, seperti fasilitas air dan listrik. Kelebiahan kapasitas lapas juga dapat menyebabkan kerusuhan di lapas. Stress dan narapidana yang kecemasan juga dapat dihindarkan oleh para napi.


4.    Model-Model Konseling yang dapat Diterapkan untuk Napi di Lembaga Kemasyarakatan
Berbagai layanan konseling dapat diterapkan dalam membantu napi dilapas. Pelayanan yang diberikan dapat dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan. Beberapa bentuk konseling yang dapat digunakan:
a.    Pendekatan Behavioristik
Setiap segi kehidupan adalah proses belajar. Pendekatan behavioral atau perilaku adalah peneraparan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori belajar. Konseling model ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada perubahan prilaku ke arah cita-cita yang adaptif.

b.   Pendekatan Logo Terapi
Konseling logo terapi merupakan konseling untuk membantu individu mengatasi masalah ketidak jelasan makna dan tujuan hidup, yang sering menimbulkan kehapaan dan hilangnya gairah hidup. Dalam logo terapi masalah adalah ujian hidup yang menurut Frankl harus dihadapi dengan keberanian dan kesabaran. Keberanian untuk membiarkan masalah ini sementara waktu tak terpecahkan, dan kesabaran untuk tidak menyerah dan mengupayakan penyelesaian.

c.    Pendekatan Rational Emotif Therapy
RET dikembangkan oleh seorang eksistensialis albert elis pada tahun 1962. Sebagaimana diketahui aliran ini dilatar belakangi oleh filsafat eksistensialisme yang berusaha memahami manusia sebagaimana adanya. Menurut Ellis bukanlah pengalaman atau peristiwa eksternal yang menimbulkan emosional, akan tetapi tergantung pada pengertian yang diberikan terhadap peristiwa atau pengalaman itu. Gangguan emosi terjadi disebabkan pikiran-pikiran seseorang yang bersifar irasional terhadap peristiwa dan pengalaman yang dilaluinya. RET bertujuan untuk memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan, serta pandangan klien yang irasional menjadi rasional sehingga ia dapat mengembangkan diri dan mencapai realisasi diri yang optimal.[3]

C.      Penutup
Kesimpulan
Lembaga permasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik permasyarakatan. Lembaga permasyarakatan (LAPAS) adala unit pelaksanaan teknis dibidang pembinaan narapidana. Lembaga permasyarakatan berada dibawah departemen hukum dan HAM. Lembaga permasyarakatan bertanggung jawab langsung kepada kantor wilayah dapartemen Hukum dan HAM.
Pembinaan bertujuan agar napi setelah selesai menjalani masa pidananya tidak akan mengulangi perbuatannya (kejahatan) dan dapat hidup bermasyarakat secara wajar serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Oleh karena itu maka setiap napi didalam lembaga permasyarakatan dibina dan di didik agar menyesali perbuatannya dan mengembangkannya menjadi warga binaan pemasyarakatan yang baik dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nila-nilai moral serta dibina dalam hal kemandirian sebagai bekal hidup dikemudian hari apabial sudah pulang dari LAPAS.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Taufik, Model-model konseling (Padang, UNP,2009)
http://www.com.hukumpedia.com/ersmus70/over-kapasitas-lapas-dan-rutan-jumlah-penghuni-dan-masalah-utama.
http://animenekoi.blogspot.co.id/2012/06/stess-pada-penghuni-lapas.html.





[1] http://www.com hukumpedia.com/ersmus70/over-kapasitas-lapas-dan-rutan-jumlah-penghuni-dan-masalah-utama
[2] http://animenekoi.blogspot.co.id/2012/06/stess-pada-penghuni-lapas.html
[3] Taufik, Model-model konseling (Padang, UNP,2009), hal.165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar