Senin, 09 Mei 2016

KONSELING TERHADAP ANAK JALANAN



KONSELING TERHADAP ANAK JALANAN

A.    Keberadaan Anak Jalanan
Anak jalanan adalah anak laki-laki dan perempuan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan dan tempat-tempat umum, seperti pasar, mall, terminal bis, stasiun kereta api, taman kota.
Pengertian anak jalanan dalam panduan pendataan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalanan maupun tempat-tempat umum. Waktu yang dihabiskan anak jalanan untuk bekerja, mencari penghidupan di jalanan atau tempat umum lainnya yaitu 3-24 jam/hari.[1]
Menurut Standar Operasional Prosedur (SOP) Tim Penjangkau Dialogis Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah (2011:5) mendefinisikan anak jalanan adalah anak yang karena suatu sebab terpaksa maupun sukarela menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat keramaian umum lainnya untuk bekerja atau nafkah.[2]
Berdasarkan pengertian yang dipaparkan, disimpulkan anak jalanan adalah anak laki-laki atau perempuan berusia 5-18 tahun yang melakukan kegiatan di jalanan atau tempat umum lainnya menghabiskan waktu 3-24 jam/hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya/mencari nafkah.
Berdasarkan hasil penelitian, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu:
1.      Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka.sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya.
2.      Children of the street, yakni anak-anak yang  berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu.
3.      Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan.

B.     Pola Pembinaan dan Bimbingan yang Dilakukan Pemerintah dan LSM terhadap Anak Jalanan
1.      Pemerintah
Usaha pemerintah mengenai penanganan anak jalanan yang pertama adalah diadakannya Rumah Singgah yang sekarang lebih dikenal dengan Rumah Perlindungan Sosial Anak Jalanan (RPSA). Adanya Rumah Singgah atau Rumah Perlindungan Sosial Anak Jalanan (RPSA) merupakan bentuk kerjasama antara YSS (Yayasan Sosial Sogijopranoto) dan Departemen Sosial sebagai bagian dari pilot project yang didukung oleh UNDP dalam menangani kasus anak jalanan di Indonesia, yakni dengan cara mengajukan suatu model Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) untuk mengentaskan anak jalanan di Indonesia. Model penanganan ini berlanjut dengan program penelitian anak jalanan yang dilangsungkan di 12 kota di Indonesia. Dari pendataan tersebut kemudian melahirkan sebuah program pendekatan rumah singgah yang pelaksanaannya di Semarang, melibatkan 7 Ornop (Organisasi Non Pemerintahan) sebagai lembaga pelaksana. Dari 7 Ornop tersebut, Gratama merupakan salah satu diantaranya. Kota Semarang dipilih sebagai salah satu kota uji coba RPSA karena Semarang merupakan Ibukota dari Provinsi Jawa Tengah dan diperkirakan jumlah anak jalanan yang relatif banyak.
Penanganan yang kedua dari Pemerintah Kota Semarang adalah membentuk pos penghalau anak jalanan di sejumlah titik di pusat kota. Langkah ini sengaja dilakukan untuk mengatasi keberadaan anak jalan yang dinilai meresahkan masyarakat. Menurut penuturan Kepala Dinas Sosial Pemuda dan Olah Raga Kota Semarang, Tri Supriyanto di kantornya, Jumat 4 Januari 2013. “Sejumlah titik tersebut adalah kawasan Tugu Muda, Kalibanteng, Jalan Pemuda, Jalan Ahmad Yani, Jalan Gajah Mada dan Kaliwiru. Keberadaan pos ini akan ditempati oleh petugas gabungan dari Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja. Tri mengaku selama ini pemerintah Kota Semarang kesulitan menangani anak jalanan. Apa lagi menurut Supriyanto, panti rehabilitasi Amongjiwo yang berada di kecamatan Ngalian, sudah tak mampu menampung anak jalanan. Panti itu kini dihuni 200 orang meski kapasitasnya hanya untuk menampung 50 anak jalanan. Selain itu, kata Tri, kesulitan pemerintah bertambah karena belum ada regulasi yang mengatur tentang anak jalanan. Draft aturan tentang penanganan anak jalanan baru akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tahun ini” (Tempo, 04 Januari 2013).[3]

2.      LSM
Menurut Tata Sudrajat, selama ini beberapa pendekatan yang biasa dilakukan oleh LSM dalam penanganan anak-anak jalanan adalah sebagai berikut:
a.       Street based, yakni model penanganan anak jalanan di tempat anak jalanan itu berasal atau tinggal, kemudian para street educator datang kepada mereka: berdialog, mendampingi mereka bekerja, memahami dan menerima situasinya, serta menempatkan diri sebagai teman.
b.      Centre based, yakni pendekatan dan penanganan anak jalanan di lembaga atau panti. Anak-anak yang masuk dalam program ini ditampung dan diberikan pelayanan di lembaga atau panti seperti pada malam hari diberikan makanan dan perlindungan, serta perlakuan yang hangat dan bersahabat dari pekerja sosial.
c.       Community based, yakni model penanganan yang melibatkan seluruh potensi masyarakat, terutama kelurga atau orang tua anak jalanan. Pendekatan ini bersifat preventif, yakni mencegah anak agar tidak masuk dan terjerumus dalam kehidupan di jalanan. Keluarga diberikan kegiatan penyuluhan tentang pengasuhan anak dan upaya untuk meningkatkan taraf hidup, sementara anak-anak mereka diberi kesempatan memperoleh pendidikan formal maupun informal, pengisian waktu luang, dan kegiatan lainnya yang bermanfaat. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat agar sanggup melindungi, mengasuh, dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya secara mandiri.[4]

C.    Masalah-masalah yang Dialami Oleh Anak Jalanan
Anak jalanan berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Mereka menghadapi berbagai masalah yaitu:
1.      Keterbatasan dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar.
Anak jalanan tidak mampu memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal yang manusiawi. Umumnya mereka makan 2 kali sehari, dan jarang ada makanan tambahan. Selanjutnya, dilihat dari pemenuhan kebutuhan pakaian, umumnya mereka memiliki pakaian 2 stel. Kemudian dilihat dari kebutuhan tempat tinggal, sebagian mereka menempati “rumah” dengan kondisi semi permanen dan tidak permanen. Bahkan, sebagian menempati lorong-lorong pasar sebagai “rumah” mereka.
Orang tua anak jalanan bekerja sebagai buruh, kuli bangunan, tukang becak, pedagang/sektor informal dan buruh serabutan. Di salah satu lokasi, ditemukan orang tua anak jalanan sebagian besar pengamen. Kondisi tersebut mengakibatkan tumbuh kembang anak jalanan (terutama mental dan sosial) tidak optimal. Hal ini akan berdampak pada kapasitas kecerdasan mereka yang rendah, sikap dan perilaku implusif, agresif serta mental mereka rapuh ketika mereka memasuki dunia dewasa.
2.      Kesehatan buruk.
Anak jalanan rentan terhadap penyakit kulit, ISPA, dan diare. Kehidupan yang tidak teratur dan akrab dengan sumber-sumber polusi, merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status kesehatan mereka. Selain itu, mereka rentan mengidap penyakit menular seksual, akibat dari pergaulan bebas dengan lawan jenis dan kelompok risiko tinggi menularkan penyakit menular seksual.

3.      Partisipasi pendidikan rendah
Anak jalanan tidak mampu berpartisipasi dan mengakses sistem pendidikan. Karena itu, sebagian besar mereka berpendidikan rendah. DO pada jenjang SD dan tidak pernah sekolah. Sebenarnya mereka ingin sekali bersekolah, tapi kondisi ekonomi dan sosial keluarga tidak lagi memungkinkan mereka bersekolah.
4.      Kondisi sosial, mental dan spiritual tidak kuat/rapuh.
a.       Anak jalanan hidup di dalam komunitasnya sendiri. Mereka tinggal di wilayah yang kurang menyatu dengan wilayah lain. Jadi wilayah tinggal mereka relatif tertutup dari komunitas luar. Di dalam komunitas itu, anak jalanan bersosialisasi dan mengembangkan pola relasi sosial berdasarkan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam komunitas mereka. Proses sosialisasi tersebut berlangsung bertahun-tahun dan bahkan sebagian anak jalanan “mewarisi” orang tuanya. Pada beberapa kasus, orang tua anak jalanan pernah menjadi anak jalanan juga ketika seusia anaknya, yaitu melakukan kegiatan mengamen dan mengamis. Proses sosialisasi tersebut membentuk sikap mental dan spiritual mereka yang seringkali tidak sesuai dan bahkan bertentangan/melanggar aturan dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, berkata kasar, jorok, tidak santun yang menurut masyarakat umumnya tidak baik bagi mereka merupakan sesuatu yang baik. jadi, disini ada perbedaan pemahaman baik dan buruk antara masyarakat umum dan anak jalanan. hubungan anak dengan orang tua umumnya baik. mereka sebagian besar kembali ke orang tua setelah melakukan aktivitas di jalanan. sebagian besar anak merasa bangga dengan orang tuanya sebagai pekerja keras dan sayang kepada mereka. Orang tua anak mengetahui kegiatan anaknya dan memberikan dukungan dengan menyiapkan keperluan anak untuk melakukan aktivitas di jalanan. sebagian anak jalanan mengalami tekanan psikis akibat perlakuan dari orang tuanya dan orang dewasa lain. Mereka mendapatkan perlakuan salah, tindakan kekerasan, penelantaran dan eksploitasi secara ekonomi. Ditemukan kasus dimana anak jalanan ditargetkan setiap hari membawa uang jumlah tertentu ketika kembali kerumah. Bila uang yang dibawa pulang kurang dari target, anak mendapatkan hukuman, seperti dimarahi, dipukul, tidak boleh tidur di rumah dan tidak diberi makan. Tekanan psikis dari orang tua tersebut makin bertambah, ketika mereka mendapatkan perlakuan dari orang-orang dewasa di jalanan dan oknum petugas. Sebagian anak jalanan mendapatkan perlakuan kurang bersahabat oleh oknum petugas trantib atau Satpol PP.
b.      Sebagian anak sudah menyalahgunakan NAPZA dan pergaulan bebas dengan lawan jenisnya. Kondisi ini juga menggambarkan rapuhnya mental dan spritual anak jalanan, baik karena tekanan ekonomi maupun hubungan sosial yang buruk di lingkungan keluarga maupun di dalam komunitas mereka.
Masalah anak jalanan adalah merupakan fenomena yang biasa terjadi di kota-kota besar. Untuk bertahan hidup di tengah kehidupan kota yang keras, anak-anak jalanan biasanya melakukan pekerjaan di sektor informal, baik legal maupun ilegal seperti pedagang asongan di kereta api dan bus kota, menjajakan koran, menyemir sepatu, mencari barang bekas atau sampah, mengamen di perempatan lampu merah, tukang lap mobil, dan tidak jarang pula anak-anak yang terlibat pada jenis pekerjaan berbau kriminal seperti mengompas, mencuri, bahkan menjadi bagian dari komplotan perampok.[5]

D.    Model-model Konseling yang Dapat Diterapkan untuk Anak Jalanan








[1] Gesha Rahmalia, Agresi Berdasarkan Kategori Anak Jalanan Children On The Street dan Vulnerable To Become Street Children Pada Usia Remaja Binaan RPA IABRI Bandung Universitas Pendidikan Indonesia, 2015, (Online), Tersedia: http://repository.upi.edu/16974/6/S_PPB_1006309_Chapter1.pdf (25 April 2016)
[2]  Puji Endah Wahyu Ningsih, Penanganan Anak Jalanan Di Rumah Perlindungan Sosial Anak Pelangi Oleh Dinas Sosial, Pemuda Dan Olah Raga Kota Semarang, 2013, (Online), Tersedia: http://lib.unnes.ac.id/18508/1/3301409091.pdf (25 April 2016)
[3] Puji Endah Wahyu Ningsih, Penanganan Anak Jalanan Di Rumah Perlindungan Sosial Anak…
[4] Izza, Bimbingan dan Konseling Anak Jalanan, 2012, (Online), Tersedia: http://izzamuanies.blogspot.co.id/2012/05/bimbingan-dan-konseling-anak-jalanan.html (23 April 2016)
[5] Puji Endah Wahyu Ningsih, Penanganan Anak Jalanan Di Rumah Perlindungan Sosial Anak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar