Senin, 09 Juli 2012

CERPEN REMAJA

Cerpen Remaja : Dilema (Antara Sahabat dan Cinta) - Setelah kemaren kita posting Cerpen Cinta : Ketegaran Cinta Bertasbih dan Kumpulan Cerpen Remaja Sekarang saya akan share Cerpen Remaja yang berjudul Dilema (Awal Sebuah Pilihan : Sahabat dan Cinta), Cerpen Kiriman dari sahabat Aisyah Wulansari. dari judul diatas aja kita bisa lihat Dilema dan bisa menggambarkan sosok seseorang yang sedang kebinggungan antara sahabat atau memilih Cinta, Okelah supaya anda tidak penasaran silahkan saja Baca Cerpen Remaja : Dilema (Antara Sahabat dan Cinta) dibawah ini : 

DILEMA
(Awal Sebuah Pilihan : Sahabat dan Cinta)
Cerpen _Aiira

Aku masih terpaku menatap lekat-lekat sosoknya.Seorang gadis yang sebaya denganku, yang telah cukup lama menjadi teman akrabku.Aku pun hampir tidak mengingat, bagaimana kami bisa saling mengenal dan berlanjut menjadi seorang sahabat.Ya, sahabat. Sesuatu yang spesial bagi tidak sedikit orang.Sosok yang selalu ada saat kau jatuh hingga kau telah berada di atas angin.

Keisya.Merupakan panggilan akrab untuknya.Dikatakan dewasa, dia sungguh kekanak-kanakan.Disebut penyabar, tidak selalu seperti itu keadaannya. Namun entah karena hal apa aku sanggup berlama-lama di dekatnya. Waktu satu jam bukan lagi waktu yang cukup memuaskan bagi kami untuk saling bercerita dan berkeluh kesah. Mulai dari segala hal yang sedih, aneh, lucu, keren menurut versi kami, dan banyak lagi hal-hal tak penting yang kami bahas.
‘Sahabat Selamanya’

Sekiranya itu adalah ikrar setia kami untuk terus bersama hingga tangan Tuhanlah yang memisahkan. Jika kalian pernah membaca sebuah novel Firefly Lane karya Kristin Hannah, kalian pasti akan menemukan dua tokoh yang telah membuktikan kesetiaan janji mereka. Janji untuk bersahabat selamanya.Terlalu berlebihan memang, jika kami harus disejajarkan dengan kedua tokoh istimewa itu, Tully dan Kate. Namun, dalam segala situasi yang penuh dengan kecambuk akan kelabilan ego kami masing-masing, kami mencoba untuk bisa memenuhi janji kami sabagai sahabat selamanya.

Hingga semua itu berubah keadaannya.Terjadi begitu saja.Dan berhasil menghancurkan semuanya dalam sekejap.Tepat di pertengahan Oktober lalu, semua itu kepahitan berawal dan sebuah hubungan yang erat pun berakhir.Penghianatan.Sebuah kata kunci yang terasa pantas untuk disandang.
*******

“Sya,…….”. tiba-tibaKeisya datang padaku dengan berderai air mata. Seperti biasa, ia meletakkan kepalanya di pundakku.
“Ada apa, Kei? Cerita aja, nggak usah kaya begini lah”.
“Kak,….”. ucapnya menggantung. Tampak keraguan darinya untuk bicara.
“Iya, Dik… Ada apa?”
“Dia jahat, Kak… -hikshikshiks L-“, ucapnya terisak.
“Maksudmu?”
“Farhan mutusin aku, Kak”.
“Apa?Bagaimana bisa?Awas aja kalau aku ketemu ama dia. Huh!” seruku geram penuh umpat pada Farhan.“Memang apa yang sudah terjadi?Kalian bertengkar?”
Keisya hanya terdiam.Isaknya terdengar makin dalam.Makin perih menusuk relung batinnya.“Baiklah, kalau kamu nggak bisa cerita nggak apa-apa.Tapi ingat ya, aku selalu ada buat kamu”, ucapku berusaha menghiburnya.
“…. J….”. ia hanya tersenyum dan menatapku mendalam. “Terimakasih Rasya. Terimakasih”, ucapnya diiringi dengan jatuhnya bulir-bulir bening pada pipinya.
“Yang penting kau bahagia, Dik. Bukankah kita akan menjadi sahabat selamanya?”.
“Untuk sahabat sejati selamanya”, sahut Keisya sambil mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku.Tampak sebuah senyum tersungging di wajahnya.Ia tampak manis, meski aku tahu ia tengah membohongi dirinya sendiri dengan senyumnya yang penuh kegamangan saat ini.
******

Hari-hari muram buat Keisya telah berlalu.Dapat terlihat lagi auranya yang periang dan senyumnya yang menggoda. Dengan centilnya ia menghidupkan suasana di kelas kami. Mungkin, itu salah satu alasan mengapa aku rela menjadi sahabatnya.
“Wah, lagi seneng ni ye…”, godaku padanya.
“Maksud kak Rasya apa sih?Dateng-dateng langsung nyeplos begitu? Plis deh,…”, timpalnya padaku.
“Sepertinya ada sesuatu nih. Makanya si putri ini lagi doyan nyegar-nyegir nggak jelas”.
“Emang menurut kakak begitu ya?” ujarnya tanpa menatap aku, sambil nyegar-nyegir tak jelas.
“Inggih, Sayang…. Emang ada apa toh? Cerita dong”.
“Rasya tahu Bramasta kan?”
“Emang kenapa?”
“Orangnya perhatian ya, Kak. Baaaiiikkk banget”

Aku sangat terkejut akan apa yang baru saja dikatakan Keisya. Entah aku merasa ada sesuatu mengganjal di hatiku.Ada serpihan rasa tak rela yang menghujam dada.Seketika lidahku kelu. Tanpa ingin membuatnya kecewa akan responku yang tidak cukup baik, ku lemparkan senyum padanya. Berharap ia tak menyadari akan adanya kegamangan dalam hatiku.
*****

Mulai saat itu, Keisya tak lepas dari topic yang membahas tentang Bramasta.Anak laki-laki di sekolah kami yang bisa dikatakan tenar. Berperawakan tinggi, putih, bermata sedang, dan jika tersenyum maka akan timbul sebuah cekungan di sudut pipinya. Dan semenjak hari itu pula, waktu malamku terasa panjang dan melelahkan.Bramasta adalah kawanku saat kelas 4 SD dahulu. Kedua orangtua kami pun sudah cukup mengenal.Tak jarang Ibu mengundang mereka –Bramasta dan keluarga- dalam setiap acara penting keluarga kami, begitu juga sebaliknya.Kami tergolong dekat, walau kini pada nyatanya hubungan kami semakin merenggang. Bahkan jika aku menceritakan hal ini pada teman-teman di sekolah ku kini, sungguh mereka akan benar-benar tidak percaya. Mustahil untuk dapat dipercaya oleh mereka.Tak apalah, sempat mengenal bahkan mejadi kawannya pun jadi hal istimewa buatku.Dan semua yang telah terjadi  antara aku dan Bramasta seakan sudah cukup memberikan alasan untuk menumbuhkan rasa kagum dari ku untuknya.

Dengan terus melajunya sang waktu, rasa kagum itu kian menjalar, merambat dan bersarang ke dalam ruang-ruang kosong di benakku.Semakin lama, semua rasa itu kian mendalam. Dan kini, . . . .tepat dihadapanku. Seorang gadis yang telah kuanggap bak saudara, menceritakan sosok Bramasta dengan binar-binar kekaguman yang tampak di matanya.
“Apa kamu mengagumi, Bramasta?” tanyaku tiba-tiba pada Keisya.Semua terasa terlontar begitu saja dari mulutku.

Keisya diam., tersenyum dan melempar pandangannya pada goresan putih yang menggantung di langit biru yang gagah. “Menurutmu Rasya? Apakah seperti itu adanya?” ucapnya kemudian. Tergores sebuah senyum dari bibirnya.
*****

Entah untuk yang ke-berapa kalinya aku membolak-balikkan tubuhku di atas ranjang.Nyanyian jangkrik terdengar makin lantang, seiring dengan terhentinya suara riuh manusia yang rutin terdengar di pagi hari. Dari balik jendela, cahaya bulan telah memberi warna perak pada pepohonan di luar sana. Lambaian tirai-tirai di kamarku seakan mengabarkan bahwa sang angin darat telah menjaga nelayan-nelayan yang tengah memulai harinya demi sepincuk nasi. Ku lempar pandangan pada jam dinding yang menggantung di seberang ranjangku. Pukul 02.00.Hingga saat ini kedua mataku enggan terpejam, walau perihnya mata ku rasa sudah.Kata-kata Keisya pagi tadi masih terngiang jelas dalam anganku.“Ah, aku tak boleh seperti ini. Pun tak ada guna aku mementingkan hatiku sendiri.Toh, Bramasta tak memiliki perasaan apapun padaku. Bukankah cinta tak harus memiliki?” batinku lirih.Cinta.Inikah rasanya?Sesuatu yang selalu terdengar indah, magis, dan luar biasa, telah menjangkit diriku.Sesuatu yang selalu dibuat istimewa oleh para pengarang maupun penyair. Tapi,… mengapa semua seperti ini? Terasa sakit, berat, dan memilukan.Makin meracuni alam pikiranku yang kalut.Sungguh buruk kenyataan cinta yang sesungguhnya.Namun semua kembali pada satu pertanyaan singkat, “Pantaskah aku merasakan cinta saat ini?”
*****

“Sya,…Rasya!” panggil Nadine tergopoh-gopoh.
“Ada apa?Santai aja lagi, nggak usah lebay sampai mengos-mengos begitu”.Ucapku sekenanya.
“hosh.. hosh..  Itu…hosh hosh… emmm, i..ttu lho…” ucapnya tak jelas sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Hadeh, ngomong apa to, Mbak yu… atur napas dulu dah, tenang”.
Dalam waktu sepersekian detik, Nadine kembali bernapas normal. “Kei,….Kei,.. Kei, Rasya..”
“Kei? Ada apa? Kenapa Keisya?” responku panik seketika.
“Dia lagi berantem di kantin. Anak-anak malah pada nyorakin mereka, ngomporin gitu-….”
“Oke, makasih”.Responku singkat dan segera berlari ke arah kantin.Walau aku tahu bahwa Nadine belum selesai bicara tadi. Aku harap ia tidak marah dan bisa mengerti.
Gerombolan anak laki-laki dan perempuan riuh, membentuk formasi lingkaran tak beraturan. Mereka meneriakkan nama Kei dan Teressa. Segera ku berlari menuju kerumunan dan beradu badan dengan yang lainnya agar aku dapat menempati posisi terdepan. Begitu sampai di barisan depan, dapat ku lihat Kei dan Tere yang saling menjambak. Wajah mereka berdua merah padam, sama-sama terbakar emosi menggebu.Tak membuang waktu aku menuju ke tengah-tengah berharap dapat melerainya.
“Hei, hentikan!Hentikan semua ini!” teriakku cukup keras.Sialnya suaraku kalah terdengar daripada teriakan masal yang tengah mendukung jagoan mereka yang tengah bertanding.
‘Bruak!!!’

Aku jatuh tersungkur saat aku berusaha menengahi mereka berdua. Tangan Tere mendorong tubuhku keras secara tidak sengaja –mungkin memang tak sengaja, aku tak tahu-. Keisya menatapku yang merintih lekat-lekat.Ia melepaskan diri dari rengkuhan tangan Tere, dan bergegas menghampiriku. Masih dengan wajah yang merah padam, Tere mentap aku dan Keisya bergantian.Tatapan yang seakan bermakna, aku-akan-memberikan-pelajaran-yang-lebih-dari-ini-anak-bau-kencur. Ia berlalu dengan senyum puas karena merasa telah menang atas Keisya.
“Kamu nggak apa-apa, Rasya?”
“Yang seharusnya Tanya itu aku, Bodoh. Kamu nggak apa-apa?”
“Sial, semua gara-gara cewek jelek dan bawel itu.Awas aja dia. Berani banget dia macem-macem sama kamu, Sya”, umpatnya kesal bukan main.
Kei berdiri dan berjalan menghampiri Tere yang melangkah belum jauh dari TKP sebelumya. “Tere! “ teriak Kei. Tere berbalik, “Apa lagi anak bawang?”
‘Plak!’

Pukulan keras melayang dari tangan Kei ke pipi Tere. Saat tangan Tere hampir meyentuh permukaan pipi Kei, sebuah tangan menghentikannya.
“Bramasta”, ucap Tere dan Kei hampir bersamaan.
“Udahlah, kalian jangan kayak anak kecil sepeti ini.Apa kalian nggak mikir kalau perbuatan kalian mencoreng nama baik kalian sendiri?” ujar Bramasta sok bijak.
Tanpa berkata sepatah katapun, Tere berlalu.Terbesit kilatan amarah yang kian berkobar di matanya.Bramasta menatap wajah Keisya teliti.“Panampilanmu acak adul banget.Sumpah. Kamu juga luka, di obtain ke UKS gih,…….”

Bulir-bulir bening mengalir mulus di pipiku.Aku tak kuasa lagi untuk menahan genangannya. Hatiku benar-benar terasa terguncang melihat apa yang terjadi pada Rasta dan Kei. Mereka kini tengah berdiri di hadapanku, berjarak sangat dekat. Tampak rasa cemas dari air muka Rasta. Aku berlari.Menjauh dari pemandangan yang memekakkan luka di hatiku.Aku berlari megikuti kemana pun langkah kaki terarah.
*****

“Kak Rasya, tunggu..”, Kei memanggilku yang sedari kemarin berusaha menghindrinya. “Sya, kamu marah sama aku?Apa karena aku berantem waktu itu ya? Aku minta maaf”.
Ku tatap mata bulatnya mendalam. Mata yang membuat setiap orang akan menaruh simpati padanya. “Iya aku maafin kok.Lain kali jangan kamu ulangi, inget orangtuamu nggak pernah ngajarin kamu untuk berantem kaya ayam bodoh.Apalagi ini Cuma hal sepele”.
“Maaf, Sya. Aku….” Air mata menggenang di kedua pelupuk matanya, selang beberapa detik bulir-bulir bening itu tumpah ruah. “Maafkan aku, Sya,,,”
Ku raih tubuhnya dan ku dekap ia. Aku beruaha untuk menentramkan hatinya.“Iya, kei aku maafin kamu. Dan aku juga minta maaf ya, Kei….”
Kei menarik dirinya dari tubuhku.Ia menatapku, “Maaf? Untuk apa?”
“Untuk,….segalanya, Kei. Segalanya”, jawabku mnggantung.Aku terus terhanyut dalam tatapan matanya. “Kei maafkan aku yang belum seutuhnya rela melepaskan perasaanku pada Rasta untukmu”, batnku dalam hati.
“Oke, daripada larut dalam kesedihan yang super nggak jelas gimana kalau nanti kita hang out. Makan bakso atau mi ayam?” tawar Kei padaku, sambil menyeka jalur yang membekas atas air matanya.
“Aku kenyang. Mungkin lain kali. Aku minta maaf”.
“Sayang sekali. Tapi, tak apalah”
|”Emm, kalau boleh tahu ada masalah apa, antara kamu sama Tere?”
“O, jadi gini ceritanya-..”.
*****

Matahari kian meninggi.Panasnya sungguh menyegat, serasa membakar hangat ubun-ubun kepala.Ku kayuh sepeda menuju perpustakaan umum.Dalam kondisi kalut seperti ini, ku luangkan sedikit waktu untuk sekedar mambaca buku, berharap semua masalah dapat terlupakan walau hanya sekejap.
Begitu sampai di dalam. Ribuan buku yang tertata rapi dalam rak-rak yang saling berjajar. Ku perintahkan langkah kakiku menuju kumpulan buku yang berlabel “Sastra dan Karya Fiksi”.
“Rasya!” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing bagiku terdengar keras memanggil.
“Hei, Kei! Tumben ke sini.Sama…?” belum genap aku menyelesaikan kalimat tanyaku, sosok Rasta menyusul di belakang Kei.“Sepertinya aku sudah tahu jawaban atas pertanyaanku sendiri”. ujarku kemudian.
“Ku akui kau memang cerdas, Rasya”.
“Hei, Rasya! Udah lama banget nggak ketemu.Ngilang kemana aja kamu?”Rasta tiba-tiba datang dan menyapa ku.
“Bukankah yang selama ini sering ngilang itu kamu ya?Secara anak tenar gitu?”
“Bisa aja kamu, Sya.Kamu belum berubah ya.Masih pinter ngeles kaya dulu”.
“Oh ya?” jawabku singkat.“Aku emang nggak berubah, Rasta.Begitu juga perasaanku ke kamu. Mungkin selamanya akan tetap sama”, benakku kemudian. Jujur saja, seketika jantungku berdebar kencang, aliran darahku mengalir begitu cepat.Tubuhku gemetar.Tangan dan kakiku terasa kesemutan.
“Ehem..ehem… ada yang dikacangin di sini nih”, Kei berkomentar atas suasana yang terjdi.
“Wah, ada yang marah ni ye”, godaku.
“Oke.Kei, bisa kamu cerita gimana kamu bisa kenal dan bersahabat sama cewe bawel, cerewet, dan cengeng kayak dia?”
“Oh, gitu? Awas kamu ya”.
“Kamu ngancem ceritanya nih?” goda Rasta padaku.

Mulai detik itu, ku rasakan kembali kedekatanku dengan Rasta. Dan dapat ditebak, aku semakin sukar menghapusnya dari hatiku. Seakan ada harapan untukku. Jujur saja, aku merasa dia sangat perhatian kepadaku. Aku nyaman berada di dekatnya. Aku sering menghindari kontak mata dengannya, aku tak kuasa menatapnya lama. Tak jarang Rasta tersenyum geli dengan tingkahku yang serba salah. Namun, kami tidak hanya berdua saja dalam melewati hari. Ada Keisya. Sahabatku yang juga saingan hatiku akan Rasta.*****
‘Drrrrtt,,,ddrrrrtt,,’

Handphone ku bergetar.Ada sebuah pesan dari Rasta. Jujur, aku telah menantikannya sejak semalam. “. . . Happy Birthday, Friend. Moga tambah suskses aja dan selalu berada dalam naunagn rahmat-Nya.Amiin. O ya, Sya hari ini aku mau ngundang kamu untuk makan bareng keluarga aku.Toh, udah lama juga kita nggak makan bareng.Jangan lupa kenakan gaun ungu itu. Aku harap kau menyukainya. . . .”, sms panjang lebar dari Rasta membuatku gembira dan bingung. Gembira tas undangannya dan bingung perkara gaun ungu yang ia sebutkan dalam pesannya. Gaun apa yang ia maksudkan?
“Kei, kamu nerima titipan nggak? Kiriman pos gitu, ada nggak?” tanyaku pada Keisya yang kini tinggal seatap denganku. Kini lagi-lagi kami kuliah di tempat yang sama. Dan ujung-ujungnya, kami memutuskan untuk tinggal di rumah kos satu atap.
“Hah, ng..ng kiriman… tt .. ttittipan? Ng..ng.. ng… aku nggak tahu tuh. Emang kenapa?” jawabnya dengan air muka yang aneh seketika.
“Nggak, aku butuh banget barang itu.Ada hal penting untukku.Terimakasih”.
“Yap, aku pasti akan memberimu kabar seputar kiriman yang datang, Rasya. Itu pasti.”
“Aku percaya padamu, Kei”.
“Ngng, Rasya,…”
“Iya, Kei?”
“Selamat ulang tahunJ”
“Terimakasih, Sobat.  Kau yang terbaik”.
*****

Hatiku masih terbalut gelisah dan bersalah. Gaun pemberian Rasta tak berjejak, hilang. Aku pun tak menghadiri undangan makan malam dari keluarga Rasta. Aku tak tahu harus berkata apa pada mereka perkara gaun yang hilang itu. Aku malu. Rasta maafkan aku.
‘Bruak!!’
Sebuah kotak bersampul hitam jatuh dari lokerku. Penasaran, ku buka bungkusan kotak itu.Dan ku lihat isinya, sebuah kaset rekaman dan sebuah buku harian yang persis dengan milik Keisya. Apa maksudnya ini. Tak betah didekap penasaran, ku setel rekaman itu. Dan ternyata……
******

“Apa maksudmu melakukan ini semua, Keisya? Apa salahku padamu?” makiku pad Keisya setibanya aku di rumah. Awalnya aku tak percaya akan apa yang ku lihat dalam rekaman itu, tapi pernyataan Keisya pada buku hariannya cukup menjadi bukti.

. . . Tuhan, sungguh aku tak rela ini semua terjadi.Ternyata selama ini Kak Rasta lebih menaruh kagum pada Rasya.Bukan padaku! Tadi pagi, aku menemukan sebuah bingkisan bersampul ungu di depan pintu. Dibawa penasaran, kemudin ku buka isinya. Ternyata itu adalah kado ulang tahun dari Rasta untuk Rasya .Sungguh hati ini terbakar. Hatiku berkecamuk. Haruskah aku utamakan sahabatku atau perasaanku? Tak berselang lama, ada seorang gadis kecil melintas di hadapanku. Ku panggil ia, dan ku berikan gaun ungu itu padanya. Aku berkata padanya, bahwa ia harus memakai gaun ini jika tiba waktunya nanti. Ia tersenyum bahagia dan berlalu. Kembali aku menitihkan air mata. Rasya, maafkan aku.Sungguh aku tak kuasa menerima semua ini..  Rabu, 20 Oktober. . . .
“Rasya, aku… ak akk,..akkuuuu….”
“Sudah cukup, Kei.Aku lelah denganmu. Benar apa yang Tere katakan padaku. Kau memang tak punya hati. Kamu lebih mementingkan urusan dan kebutuhanmu sendiri.”.
“Tere? Apa yang telah ia katakan?”
“Tak penting. Yang terpenting adalah, aku telah menyadari bahwa kau adalah seorang penghianat besar. Aku kecewa padamu”.
“Aku bukan penghianat. Aku sahabatmu, Sya’.
“Sahabat? Tidak lagi untuk sekarang dan seterusnya”. Usai bicara aku lekas berlalu.
“Rasya,…”

Langkahku terhenti. Hatiku berontak untuk mencabut semua yang telah ku ucapkan. Namun, emosiku tak dapat teredam lagi. “Oh ya, Kei. Mulai siang ini aku tidak lagi seatap denganmu. Semoga kau segera tenang atas kepergianku. Dan,… terimakasih”, ucapku tanpa berbalik.
******

‘drrrrtttt…. Dddrrrtttt…’
Handphoneku bergetar untuk yang ke-sekian kalinya. Terpampang nama Keisya di layar handphoneku. Sudah hampir dua minggu aku tak menjawab sms atau menerima panggilan darinya.Hatiku masih nyeri saat mengingat semuanya. Aku juga menghindari Rasta. Jika Keisya memang benar-benar menginginkannya, akan ku relakan dia. Mungkin Rasta benar-benar bukan untukku.

Ku tatap lekat-lekat  foto yang tengah ke dekap. Bergamabar 3 remaja, satu laki-laki dan dua wanita. Mereka tersenyum riang menatap kamera.Di bawahnya tertera tulisan SAHABAT SEJATI SELAMANYA.
Air mata mengucur deras.Menusuk luka hati yang seakan terlanjur bernanah.Luka hati yang tak pernah aku inginkan.Luka hati yang telah mengorbankan sesuatu berharaga dalam duniaku, persahabatanku..

Baca Juga Cerpen Remaja yang lainnya dan saya Ucapkn Banyak Terimakasih    




PERMINTAAN MAAF YANG TERLAMBAT
Cerpen Rananda Raisya

Disebuah kota di Jakarta ada sekolah yang bernama SMAN 9 ada sekumpulan anak geng yang bandel dan paling gak bisa diatur dari semua siswi yaitu kita kenal aja mereka bernama Stella , Karin , Fhe. Mereka ini adalah cwek penguasa dan banyak ditakutin disekolah mereka terutama para cwek’’ tapi hanya ada satu cwek yang gak takut ama mrena dia bernama ‘’ Riri ‘’ cwek tomboy, baik, dan maniez.

Keesokan harinya di SMAN 9 kedatangan murid baru dari Bandung dia bernama ‘’ Ariesta ‘’ cwek baru yang cantik, menawan baik, dan polos. Setelah Ariesta memperkenalkan dri dan akhirnya Bu guru menyuru Ariesta duduk disamping Riri disinilah Riri mempunyai sahabat. Ternyata ada yang gak suka ama Ariesta yaitu kelompoknya si Stella dan kawan – kawan mereka gak suka ama Ariesta  katanya si karena semua cwok pada girang kalau lihat dia dan sok kecantikan.

Tapi karena Ariesta gadis anak baik dan polos dihiraukan saja sama Ariesta.dan dia langsung menuju ke kantin untuk nyari si Riri setelah itu

Setelah satu bulan Ariesta sekolah ada aja kejailan yang dilakuin sama temen-temanya Stella, waktu itu Riri lagi gak masuk sekolah karena sakit dan ini saatnya Stella dan kawan’’ merencanakan sesuatu yaitu ingin membuat Ariesta discros.

Akhirnya Stella membuat ide dengan Karin mereka menyuruh Fhe buat naruh Hp dan dompetnya ke tas Ariesta setelah itu Fhe lapor ke pak Kepsek kemudian pak Kepsek memeriksa satu per satu tas mereka semua dan akhirnya dompet dan hp itu ketemu di tas Ariesta dipanggilah Ariesta ke  ruang pak Kepsek dan ditanya.

Kamu mengambil hp dan dompet Fhe  Ariesta ? gak pak sumpah saya tidak tau apa’’ entang hp dan dompet fhe pak jwab Ariesta. Udah kalau kamu gak mau ngaku bpak scors kamu selama satu munggu. Akhirnya selama satu minggu ariesta tidak sekolah dan keesokan harinya riri masuk.
Riri : mana ariesta ya ?
Wahyu : kamu gak tau ya apa yang terjadi kemaren ?
Riri : emangnya ada apa ? yu
Wahyu : ariesta difitna nyuri dompet dan hpnya fhe maka dari itu dia di scors
Riri : apa? KETERLALUAN

Akhinya riri langsung nyamperin kelompoknya Stella dan memaki-maki mereka.

Setelah satu minggu berlalu ariesta masih belum ada kabar dan riri cemas takut ada apa’’ sama ariesta akhirnnya riri berencana setelsh pulang sekolah dia mau ke rumah ariesta tapi setelah istirahat ada berita duka ariesta masuk rumah sakit karena dia terkena leokimia dan sekarang keadaanya lagi kritis setelah mendengar berita seperti ini riri menangis dan klompok si stella mnyesal krena mreka sudah memfitna si ariesta hingga tidak msuk sekolah. Akhirnya  mreka langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat keaddan ariesta tetapi setelah reka sampai rumah sakit ternyata mrekka terlambat Ariesta sudah tiada dia mninggal. Menyesalah stella, karin, fhe karena mreka blum minta maaf sama ariesta. Tapi kata dokter ariesta mnitipkan surat terakhir buat teman’’nya terutama RIRI

Surat qw buat sahabat’’ qw 
Haaiii....... sahabat ku apa kabarnya qw harap kalian semua baik’’ aja hariech ini teman – teman maaf ya kalau aq gk blg’’ kalau aq sakit aq gk mau bikin klian sedih. Riri jaga drimu baik’’ bila esok aq tdak bisa bangun kembali dan Stella, Karin, Fhe aq tau kalian ngelakuin itu semua krena ada tujuannya , aq maafin semua yg kalian lakuin ke aq kok dan aq jgha gk marah. Tapi ada syaratnya tolong jaga Riri jgan sampai dia meneteskan air mata dari mata yang indahnya itu.

Sahabat qw dengarlah aq saat qw  bersedih, saat qw sendri sahabt qw kaulah nafas qw pelita qw seluruh hidup qw,.,.,for ever slamanya sampai ktemu di surg yaaa,.,.,.,AMIEN

By: riesya_purple( siicwekimuetzbaikpinterBaweL@NOsinG.com
Tentang apa arti dari sebuah pertemanan yang abadi dan kekal dan gak akan pernah luntur oleh yang namanya permusuhan

Semoga Bermanfaat dan Baca Kembali Cerpen Persahabatan yang lainnya dan kami Ucapkan banyak terimakasih atas Kiriman Cerpen Persahabatan - Permintaan Maaf yang Terlambat.

MEJA DI SUDUT RUANGAN YANG AKU SUKA
Cerpen Cucuk Espe 

Ini benar-benar bulan Desember. Hujan dimana-mana. Jalanan basah. Langit hitam menggantung sepanjang hari. Dan angin bertiup terlalu kencang. Dingin menusuk tulang. Musim penghujan tahun ini datang terlambat, mungkin akan lama. Untung saja, kotaku yang kecil bukan termasuk wilayah langganan banjir. Bukan karena disiplin penghuninya, tetapi rasio penduduk dan luas wilayah sangat tidak sebanding. Membuat iri mereka yang tinggal di kota besar yang padat dan sumpek. Kotaku kecil sehingga tidak memerlukan kerja ekstra untuk mengurusnya.

Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, dilahirkan dan dibesarkan di kota itu. Apalagi setiap musim penghujan, aku paling suka melihat jalanan kotaku basah. Dedaunan di sepanjang jalan terlihat mengkilat pada sore hari. Terpaan lampu kota membuat deretan pohon di sepanjang jalan layaknya pagar besi berkilau. Aku suka itu!

Sore ini, angin bertiup terlalu kencang. Hujan sejak pukul 12 siang tadi belum juga berhenti, meski kini tinggal gerimis. Dari balik jendela sebuah caffe shop di pinggir kotaku,, aku duduk menikmati gerimis itu. Gerimis yang telah lama tidak aku temukan hampir sepanjang tahun ini. Sekaligus gerimis yang selalu membuka beragam cerita yang menumpuk di sudut batinku. Aku duduk di situ ditemani segelas cappucino sambil menghisap rokok, pelan dan dalam. Mestinya aku merasa damai berada di situ, nyaman dan melonggarkan pikiran.

Tetapi sore itu tidak!
Aku memang selalu datang ke tepat itu setiap sore sehabis mengirimkan tulisan ke media yang bisa memuat esai-esai ‘kacau’-ku. Melepas penat dan mungkin akan menemukan ide baru untuk bahan tulisan keesokan harinya. Terlalu sering aku di situ. Hingga hampir seluruh pelayan mengenalku. Keuntungannya, setiap aku masuk tanpa ditanya menu, langsung dipersilahkan duduk di meja dekat jendela yang terletak di sudut ruangan. Tempat yang aku suka!

Anehnya, sore itu aku menemukan diriku tidak biasanya. Perasaan ini semakin aneh manakala melihat kaca jendela kusam dan buram. Kuusap dengan tangan, terlihat beberapa anak bermain air di pinggir jalan. Anak jalanan! Meski kotaku kecil, namanya anak jalanan tetap saja ada. Tentu saja dengan tingkat kerumitan permasalahan yang berbeda. Anak jalanan di kotaku masih memiliki rumah dan orang tua. Hanya saja orang tua mereka tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga anak-anak mereka tidak terurus. Berbeda dengan di kota besar yang ‘tuna’ segala-galanya. Bahkan orang tua saja mereka bingung menentukan siapa dan dimana.

Aku tersenyum melihat tingkah mereka yang polos. Bermain air, saling menendang, memukul, berputar, berlari, tanpa beban. Suasana tawa dalam guyuran gerimis di luar terasa ringan. Seringan kapas! Berbeda dengan suasana nyaman di sini, di sudut ruangan yang cozzy –kata anak-anak muda—tetapi terasa berat, seberat awan hitam yang menggantung. Nyaris jatuh.
“Sedang menunggu seseorang?” suara perempuan mengoyak lamunanku. Perempuan muda dengan senyum enteng kutemukan telah duduk tepat di depanku. Sejak aku mengenal dan menjadikan coffe ini tempat favorit untuk meliarkan khayalan, baru sore itu ada perempuan datang dan duduk tanpa aku minta. Aku agak gelagapan.
“Tidak juga. Kamu…,” aku belum menemukan pertanyaan yang sesuai untuk sebuah ketiba-tibaan. Aku panggil ‘kamu’ karena aku yakin usia perempuan ini jauh di bawahku.
“Maaf, jika mengganggu,” celetuknya.
“Tidak juga,” terpaksa aku mengulang kalimatku. “Terima kasih telah mamu duduk di meja ini.”

Ya! Aku formal banget. Perempuan itu tersenyum. Mungkin menertawai sikapku yang diluar perkiraannya. Aku bisa menebak, dipikirnya aku akan langsung menyodorkan senyum menggoda dan bergerak sangat agresif. Jujur, aku memang sering seperti itu tetapi bukan untuk sebuah ketiba-tibaan yang menghilangkan segala kecerdasanku. Benar! Aku terasa seperti lelaki lugu.

Perempuan itu membetulkan posisi duduknya.
“Aku baru dua kali kesini. Pertama tiga hari lalu, dan duduk di meja ini,” katanya. Aku mengingat tiga hari yang lalu, memang aku tidak ngopi di sini. Aku ke rumah teman di luar kota. “Dan sore ini, ternyata tempat ini enak juga ya…,” lanjutnya.
“Aku sering ke sini,” jawabku seolah menyiratkan di meja inilah tempatku!
“O…ya?”
“Hampir setiap sore. Dan duduk di sini.”
“Selalu di sini?” tanya perempuan itu lagi.
“Ini tempat yang terlindung,” jawabku sambil melirik ke pot-pot bunga yang berjejer mengelilingi sudut ruangan tempat favoritku. “Tidak terlihat tetapi bisa melihat siapa saja yag masuk.”
“Pilihan tepat. Lalu kenapa tadi aku mengejutkanmu?”

Sialan! Rupanya dia tahu kalau aku tadi sangat terkejut melihat kedatangannya.
“Lihat anak-anak itu! Mereka membuatku tidak menyadari ada seseorang telah berada di depanku,” jawabku sekenanya. Perempuan itu tersenyum. Giginya terlihat sangat terawat.
“Maaf, kita belum kenalan, Oka…” kusodorkan tangan. Dia menyambut tanpa ragu.
“Jenny.”
“Baru di kota ini?”
“Betul. Aku tinggal bersama saudara sepupu di ujung jalan ini,” jawabnya.

Setelah berkenalan itulah, pembicaraanku dan Jenny berlangsung lancar. Bahkan kini terlihat bakat asliku; agresif dan suka memutar balik logika kalimat lawan bicara. Tak terasa hampir dua jam, aku dan Jenny terlibat pembicaraan tanpa arah. Ringan tetapi aku tahu, Jenny sangat suka. Bahkan dengan gayanya yang khas Jenny menceritakan kondisi keluarganya di Jakarta yang berantakan. Ayahnya harus balik ke Singapura sedangkan ibunya tetap tinggal di Jakarta, serumah dengan pria selingkuhannya. Aku menghela napas panjang dan dalam. Dari dulu, peroblematika hidup kota besar tak jauh bergeser. Cinta, uang, pengkhianatan….klise! Bentakku dalam hati.

Hujan di luar sedikit mereda. Tetapi jalanan mulai gelap. Temaram lampu kota, sekuat tenaga menembus dinginnya udara basah. Kulihat Jenny semakin menikmati suasana, seolah ingin melepaskan beban yang puluhan tahun menimbun kebebasannya.
“Apa tidak terlalu malam?” kataku mengingatkan.
“Aku masih suka di sini. Oka keberatan?”
Aku menggeleng.

Akhirnya aku melanjutkan pertemuan itu hingga larut malam. Jenny memang luar biasa dengan segala permasalahan hidupnya. Diceritakan dengan detail, mungkin tanpa tertinggal secuilpun. Aku menikmatinya. Keliaran pikiranku menangkap cerita Jenny dengan penuh semangat. Ini ide hebat! Pikirku.

Hingga pagi. Tetapi tidak di coffe itu lagi. Kutemukan tubuhku, lunglai dalam pelukan Jenny. Malam yang penuh gerimis telah membuka segala cerita, menimbun segala duka. Ini sisi kreatifku yang terkadang muncul tanpa kusadari. Maaf…
*   *   *

Kubatalkan semua rencana yang telah kususun rapi sejak semalam. Ke rumah teman, lantas mampir ke perpustakaan kota, dan ngopi di tempat biasa. Semangatku mendadak terbang menyelinap di sela mendung yang membekap matahari pagi. Kini, gelapnya langit benar-benar membunuh ketenangannku. Lantas mengumbar kecemasan yang sangat hebat. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menyingkirkan kenyataan mengerikan akan mengusik kenyamanan pagiku. Mungkin juga kenyamanan seluruh usia hidupku.

Kubaca koran pagi; Jenny bunuh diri!
Seorang perempuan, tengah malam, ditemukan tewas tergeletak di pinggir rel kereta dekat gerbang masuk kota. Diduga, perempuan itu menabrakkan diri ke kereta barang yang melintas dengan kecepatan tinggi. Polisi berhasil menemukan indentitas dalam tasnya, korban bernama Jenny, 27 tahun, warga Jakarta yang baru beberapa hari tinggal di kota ini…Kulipat koran itu, napasku seolah berhenti sesaat. Tetapi jantungku berdegub jauh lebih kencang. Itu perempuan yang bersamaku kemarin malam!

Aku membaca berita singkat itu sekali lagi. Sama. Aku yakin itu Jenny! Tetapi kenapa dia melakukan hal bodoh itu? Kuhisap rokok sekedar menenangkan pikiran. Tetapu justru malah blingsatan dan menyiksa. Entah apa yang sedang terjadi dalam pikiranku, aku tidak tahu. Sedih. Takut. Bersalah. Semua jadi satu! Apalagi ketika paragraf terakhir berita itu kubaca; hasil visum tim dokter menyatakan kalau korban sedang hamil dua bulan. Keringat dingin meluncur tak tertahankan lagi.

Apa karena kehamilannya itu membuat Jenny nekad? Berpuluh ingatan singkat tentang Jenny memenuhi pikiranku. Aku terduduk. Lemas. Kurasakan angin dingin menyelinap menggerakkan dedaunan di luar dan menelusup melalui celah jendela. Kemarin malam, seolah tanpa beban, Jenny menjelaskan sebagian peristiwa hidupnya.
“Kau tidak menyesal?” tanyaku.
“Lama sekali aku tidak mengenal perasaan itu.”
“Kenapa?”
“Kedua orang tuaku, seolah mengajarkan jika penyesalan adalah bentuk pengingkaran,” Jenny menerawang kosong. Aku yakin, ada beban teramat berat menggunung dalam batinnya.
“Rupanya ada bagian masa lalu yang menyakitkan?”
“Bukan sebagian hampir seluruhnya. Semua peristiwa terjadi pada diri kita seolah diluar rencana baik yang kita susun. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan rangkaian peristiwa itu. Jadi, suka atau tidak, harus dijalani,” jelas Jenny sangat dalam.
“Meski peristiwa itu akibat ulah kita sendiri?”
“Hanya persoalan cara pandang saja,” tukasnya pendek.

Selanjutnya, tanpa beban secuilpun menganggu perasaannya, Jenny menceritakan pertengkaran kedua orang tuanya pada suatu malam. Pertengkaran yang hebat! Ketika itu, Jenny tidak mengerti pangkal permasalahan sebenarnya. Yang dia lihat, ayahnya menampar ibunya. Ibu lebih berani lagi, membantah dan melontarkan kalimat kasar. Bukan layaknya suami-istri. Jenny menangis menyaksikan semuanya dari balik jendela. Sejak itu, ayahnya jarang pulang sedangkan dia sendiri pergi menumpang rumah teman, agak jauh dari rumahnya.

Terakhir, Jenny mendapat kabar, kalau ayahnya telah pulang ke negara asalnya, Singapura. Sedangkan ibunya pergi bersama lelaki selingkuhannya. Jenny sendiri…merasa menemukan jalan hidupnya danm menikmatinya seolah ingin membunuh peristiwa menyakitkan yang merubah jalan hidup normalnya itu.
“Dan aku hamil,” kata Jenny pelan. Aku tak tahu harus bersikap apa. Kalimat itu seakan ditujukan kepadaku dan menanti agar aku mampu mengurai beban hidupnya. Aku tahu, apapun alasannya, ini adalah kesalahan yang mesti diperbaiki. Tetapi bagaimana caranya? Ternyata dibalik keceriaan Jenny ketika awal berkenalan, tersimpan peristiwa cukup berat. Senyumnya mungkin untuk membunuh siksaan beban itu.

Aku tangkap tangan Jenny. Tiba-tiba kami menjadi sangat akrab.
“Itu alasannya hingga kamu meninggalkan Jakarta?”
“Kota itu terlalu menyiksa,” celetuknya pelan.
“Berarti akan lama tinggal di kota ini?”
“Belum tahu juga. Aku juga nggak enak dengan sepupuku.” 

Begitulah, malam terus merambat hingga larut membawa pagi. Aku lebur dalam duka Jenny yang mungkin tidak akan tersembuhkan. Aku sadar, kehadiranku hanya akan melupakan bebannya sesaat. Tidak akan lama! Tetapi pertemuan singkat itu, terasa begitu bermakna. Apalagi ketika matahari menyelinap melalui lubang jendela, mengusik tidurku. Kelelahan.

Dan pagi ini…
Kutemukan tubuh yang penuh duka itu, kini penuh luka. Kuambil rokok, entah batang yang keberapa. Asbakpun telah penuh. Namun batinku tetap saja blingsatan. Pagi ini benar-benar hancur. Seperti kalimat Jenny kemarin malam, penyesalan hanyalah wujud pengingkaran. Memang semua garis peristiwa hidup harus dijalani tanpa protes sedikitpun. Karena manusia memang tidak layak untuk protes. Dan mungkin saja –aku ragu menggunakan kata ‘mungkin’—Jenny telah melanjutkan garis peristiwa kehidupannya. Tanpa menyesal sedikitpun!

Kulirik koran yang terlipat di meja. Terlihat foto tubuh Jenny, terbungkus kantung warna merah. Dan…dia hamil! Aku tersentak. Nyaris tersedak. Berdiri. Dan melihat ke arah jendela, menerawang kosong. Berpuluh kenangan menjejal dalam pikiran. Ketakutanku pun memuncak. Jenny memang telah meninggal, tetapi bayi itu? Orok yang dikandungnya? Bisa jadi –meski terlalu dekat jaraknya—aku juga memiliki anak itu. Karena semalaman…Jenny!
Aku berteriak sendiri. Tanpa mampu menemukan solusi sedikitpun.
*   *   *

Kulihat dari balik jendela yang kusam, gerimis semakin lebat. Secangkir kopi nyaris habis. Empat puntung rokok tersuruk dalam asbak. Pada meja di sudut ruangan itu, aku duduk sendiri. Seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi sejak peristiwa itu terjadi, kini aku memiliki alasan lain untuk duduk di meja itu. Terasa gelas cappucino milik Jenny belum kering. Perempuan itu seolah terus mengajakku untuk selalu menemuinya di caffe itu. Kunikmati pertemuan batin yang melegakan itu. Tanpa penyesalan.

Yang lebih penting, aku selalu duduk pada meja di sudut ruangan itu untuk menziarai anak batinku dalam kandungan Jenny. Hal itu harus kulakukan sebagai wujud penyesalan. Maaf…Jenny. Anak itu terlalu suci untuk menanggung beban garis hidup orang tuanya. Aku pesan kopi lagi.
Gerimis bertambah lebat.**

-----------------------------------------------
*) Cucuk Espe, Pimpinan Teater Kopi Hitam Indonesia dan Terpilih Cerpenis Terbaik 2 International FolkFEST II 2010 di Bangkok, Thailand, Desember 2010. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar