Senin, 09 Juli 2012

MENGALAH DEMI CINTA SEJATI

Mengalah Cinta Demi Sahabat

Aku adalah seorang remaja yang baru berusia 13 tahun. aku sekolah di suatu sekolah menengah pertama. disini aku mempunyai 4 teman baik, yaitu arumi, shella, putri, dan yasmine. kami sangat kompak.pada suatu hari ada praktek pelajaran di kelasku, dan semua perebuatan untuk pertama. dan aku sudah mengambil ancang* untuk lari, dan duduk di bangku meja guru. lalu aku pun berlari, dan sampai, namun, ketika aku duduk, seseorang juga duduk di bangku itu. yap, kami berdua duduk di bangku yg sama. ternyata seseorang yg duduk itu adalah reza. pada saat itu, kami saling memandang, aku merasakan ada sesuatu yang aneh saat itu, hatiku terasa terkena setrum. 

Tapi enatah apa yg ia rasakan. saat itu semua anak sekelas menyorakiku "cieeee" kata mereka kompak, dan terus menerus. lalu akhirnya dia mengalah, dan aku yg di tes duluan.dan setelah itu, sahabatku bilang "cie syelza"kata putri " apaan sih, aku tuh ga suka sama dia " kataku mengelak "oh yaudah" balasnya.sejak saat itu kami berdua sering di ejek. aku gatau aku senang atau kesal.aku tidak berani merasakan rasa ini karena sahabatku putri juga menyukainya. aku tidak tega untuk melukai hatinya.aku dan reza sering smsan dan ngobrol/bercanda bareng. padu suatu saat, aku sedang berdua sama dia saat pulang sekolah untuk pulang bersama. di tengah perjalanan dia menyatakan cinta kepadaku "syel, emhh, aku mau ngomong sama kamu", kata reza, aku menjawab "iya, mau ngomong apa ?"balasku, lalu ia bilang "emhh.. aku, aku "''aku apa?", "emh, aku, suka sama kamu, kamu mau ga jadi pacar aku ? " kata reza. aku bingung mau jawab apa, aku memang suka sama dia, tetapi sahabatku juga suka sama dia, aku ga mau untuk menghancurkan hatinya. aku terdiam. dan akhirmya aku menjawab "emh, ntar dulu deh, aku pikir* dulu" jawabku, lalu dia bilang "yaudah sampai kapanpun aku akan nunggu kamu" kata reza, "ya, makasih ya"

Sejak saat itu aku jadi menjauh darinya, dan diapun merasakan iu, lalu ia bertanya kepadaku "gimana syel, kamu mau ga? aku bener* sayang sama kamu" kata reza. dan ternyata saat reza bilang itu putri dan beberapa teman yang lainnya mendengar. 
"ehemm, ada yang lagi tembak*an nih" kata rizky, sahabat reza,
"ciee,udah terima,terima"kata fani. aku diam, aku menatap wajah putri, dan sepertinya ia mengiyakan, tetapi aku tau kalau putri sakit hati. lalu putri meninggalkan kami. aku pergi mengejar putri dia menangis, aku minta maaf sama putri, diapun memaafkanku.lalu aku pegi ke reza dan bicara "kamu bener suka sama aku ?" kataku, 
"iya, aku sangat suka aku sangat mencintaimu", 
"kalo kamu suka sama aku, kamu jauhin aku, dan kamu lebih baik pacaran sama putri, karna dia benar* mencintaimu" kataku. 
"tapi aku sayangnya sama kamu, bukan sama putri, tapi kalo itu mau kamu, yaudah aku akan coba" jawabnya "makasih ya, kamu memang cowok yang baik".lalu sejak saat itu reza mendekati putri,dn setelah beberapa waktu, mereka jadian. aku sedih sekalius senang, aku cemburu setiap mereka berdua. tetapi aku yg memintanya, dan harus bagaimana lagi.setelah itu reza datang padaku, dan ia bilang 
"ini kan maumu ? walaupun sekarang aku belum mencintainya, dan aku masih sangat mencintaimu, tapi aku akn berusaha untuk mencintainya" dan sebelum aku bilang apapun, dia sudah pergi meniggalkanku.yah,mungkin inilah resikonya, aku menermanya,walaupun sulit untuk melakukannya.

Baca Juga Cerpen Cinta yang lainnya dan saya Ucapkn Banyak Terimakasih    


ANTARA SAHABAT DAN CINTA PERTAMA
Cerpen NN

"Apa kau yakin ingin meninggalkan London ?"tanya gadis cantik itu, rambut lurusnya diikat dua, mata hijaunya berbinar-binar, kulit putihnya sedikit terlihat kemerah-merahan.
"Aku yakin, aku akan pergi ke Jepang, tempat asalku dilahirkan"jawab gadis Jepang itu yakin, gadis itu berambut panjang gelombong coklat muda diikat satu, mata birunya sedikit berbinar.
"Baiklah Megumi, aku harap lain kali kau akan mampir ke London"kata gadis itu sedikit sedih.
"Ya Emily, aku pasti akan mampir kembali dan menghampirimu !"kata Megumi meyakinkan.
"Selamat tinggal Megumi"kata Emily sambil melambaikan tangannya, Megumi pun menaiki pesawat yang akan membawanya ke negeri Sakura.Selama diperjalanan Megumi hanya meneteskan air mata, mengingat sahabat terbaiknya selalu menunggu kehadirannya.
"Emily, aku janji akan kembali"kata Megumi dalam hati sambil meneteskan air mata.

Sesampai di Jepang, Megumi pun mencari kedua orang tuanya, gadis berumur 16 tahun itu mencari kedua orang tuanya, Megumi pun menemukan mereka, kedua orang tuanya sekarang sudah terlihat tua, setelah selama 4 tahun tidak bertemu orang tuanya, Megumi bersekolah di London bersama Tante dan Omnya.Megumi pun memeluk orang tuanya.
"Mama, Papa.Megumi rindu pada kalian"kata Megumi meneteskan air mata rindu.
"Kami juga merindukanmu nak"kata Mama yang juga menitikkan air mata haru.Megumi pun pulang ke rumah yang selalu ia rindukan.Di rumah sudah ada Nana, adik tersayangnya yang masih berusia 10 tahun, Megumi pun memeluk adik tersayangnya.
"Shimai, Nana rindu sekali sama Shimai"kata Nana senang melihat kakaknya sudah pulang.
"Shimai juga rindu padamu Nana"kata Megumi.Megumi pun menuju kamar tidurnya, tidak ada perubahan dengan kamarnya saat berusia 12 tahun.Dinding berwarna kuning itu masih dihiasi beberapa lukisan karya Megumi, dan sebuah jam dinding hijau kesayangan Megumi, bed cover hijau polkadot putih itu masih dihiasi sebuah boneka beruang kesayangan Megumi saat kecil, lemari kayu, meja rias putih, dan sebuah meja berukuran sdang masih terletak rapi di kamar itu, Megumi pun merebahkan diri di bed cover itu sambil memeluk boneka beruangnya, tiba-tiba handphonenya berdering, tertera sebuah pesan telah berada di kontak handphone tersebut, Megumi pun membaca pesan itu,
"  Megumi bagaimana perjalananmu ? Apakah berjalan lancar ? Aku harap begitu.Adikku, Eiji menangis terus karena tau kau pergi jauh dari London.Aku masih menunggumu sahabatku..."
Megumi pun membalas pesan itu,
"  Perjalananku berjalan lancar, oh iya titipkan salamku untuk keluargamu terutama Eiji.Aku rindu pada adik kecilmu itu, aku rindu tawa Eiji.Aku pasti akan kembali ke London, tunggu aku ya"
Megumi pun mengirim pesan itu.Megumi pun mulai menutup matanya.
Sinar mentari membangunkan gadis cantik yang sedang terlelap lelah setelah menempuh perjalanan jauh, Megumi pun bergegas membersihkan diri, tidak begitu lama Megumi pun selsai berbersih diri, ia pun duduk di meja riasnya, Megumi mengoleskan bedak, dan blush di wajah putihnya, sedikit lipsgloss teroles rapi di bibirnya.Rambut gelombangnya digulung dua.Selesai berdandan, Megumi pun menuruni tangga dan menuju ruang makan, di meja makan tersebut sudah tersedia semangkuk mie khas Jepang, dan teh hijau khusus untuk Megumi.Megumi pun menyantap sarapan tersebut,
"Shimai kapan mulai sekolah kembali ?"tanya Nana dengan suara imutnya.Megumi pun menelan mienya,
"Mungkin menunggu sampai sekolah Shimai membuka peserta didik baru"jawab Megumi.
"Hm..Mama..Mama, Shimai akan bersekolah dimana ?"tanya Nana lugu kepada Mama.
"Megumi akan bersekolah di High School Saiensu"jawab Mama kepada putri keduanya.Megumi pun selesai memakan sarapannya, ia pun menuju kamarnya,
"Hm..Mungkin aku harus berjalan-jalan keluar rumah untuk menghirp udara segar"kata Megumi, lalu mengambil jaket putihnya, lalu turun menuju pintu.
"Megumi, kau mau kemana ?"tanya Mama.
"Aku mau menghirup udara segar Ma"jawab Megumi sambil membuka gagang pintu.
"Hati-hati ya nak !"kata Mama.Megumi pun mulai berjalan-jalan, ia pun duduk di bangku Taman
Bunga Sakura.Tiba-tiba ada seseorang yang tak sengaja menumpakkan air mineralnya dijaket
 Megumi.
"Ah..Maaf"kata seorang laki-laki kepada Megumi, laki-laki itu tampan, rambutnya berwarna coklat muda, mata hitamnya terlihat ada penyesalan.
"Tak apa"jawab Megumi, pipi Megumi bersemu merah, sepertinya ia menemukan cinta pertamanya.
"Siapa namamu ?"tanya laki-laki itu.
"Namaku Megumi Natsuko, kamu dapat memanggilku Megumi"jawab Megumi, pipinya masih
bersemu meah.
"Namaku Katashi Masuo, kamu dapat memanggilku Katashi"kata Katashi ramah.
"Kamu masih bersekolah ? Lalu sekolahmu dimana ?"tanya Megumi memberanikan diri.
"Aku masih sekolah di High School Saiensu"jawab Katashi.
"Aku juga akan masuk HSS loh"kata Megumi.
"Yang benar ? Kau akan jadi murid baru ya di kelas 10, berarti kau harus memanggilku Ani dong
hahahaha"canda  Katashi.
"Enak saja, aku akan masuk kelas 11"jawab Megumi.
"Semoga kau sekelas denganku, eh sudah dulu ya.Aku ada janji dengan sahabatku, sampai bertemu di HSS"kata Katashi sambil melangkah pergi.Megumi juga bergegas pulang, sesampai di rumah, Nana menyambut Shimainya.Megumi pun menuju kamarnya,
"Aku tak sabar menunggu saat aku masuk HSS"kata Megumi dalam hati, Megumi tidur lelap di
bed covernya...

Baca Juga Cerpen Remaja yang lainnya dan saya Ucapkn Banyak Terimakasih    

 
 SEPORSI DO'A RANI
Cerpen Gyan Pramesty Gunawan

Masa sekolah bukan melulu tentang dinamika dunia remaja, setidaknya untuk Rani, masa sekolah adalah masa dimana Ia harus menyatu bersama kepenatan, mencari gemerincing rupiah yang akan meringankan gelembung beban di pundak sang Emak. Lembaran putih catatan takdirnya, dihiasi oleh noktah kecoklatan yang terbentuk oleh peluh, dan terfermentasi oleh keadaan.
“ bulan depan ujian akhir, kalian Bapak panggil ke kantor karena kalian sudah ‘nunggak SPP selama 3 bulan. Kalo sampai bulan depan kalian tidak melunasinya, terpaksa Bapak tidak mengijinkan kalian ikut UAS.”

Sengatan listrik ribuan volt mengalir membekukan jantung Rani. Membuatnya berhenti bergerak untuk sepersekian detik kemudian bergerak kembali dalam bentuk dentuman-dentuman besar pengabar duka.
******

Adonan tepung putih yang Ia balurkan kepada berpotong-potong pisang menjadi saksi gelombang kelam yang terpancar di matanya. Fokus pandangannya tertuju pada satu titik, dimana seorang wanita paruh baya tampak tengah bergulat dengan denting pisau dan sayur-mayur. Butiran peluh menghiasi wajahnya, kuyu. Helaian rambutnya yang mulai memutih terlepas dari ikatan kusam di belakang kepalanya. Lengan tuanya, dipenuhi gurat-gurat keletihan, tak henti memotong aneka remah hijau yang ada dihadapannya. Kematian sang suami lima tahun silam, merubahnya menjadi srikandi yang harus berjuang menghidupi keempat anaknya, membusurkan panah keinginan dalam ranah takdir. Rani mendesah, potongan duka yang didapatkannya sehari silam Ia simpan rapih, enggan ia sajikan untuk melengkapi kepenatan Emaknya.

Kata-kata kepala sekolah kembali terngiang di benaknya, betapa ia harus segera melunasi seluruh kekurangan biaya sekolah, dan betapa ia harus segera memberitahukan Emaknya. Sesegera mungkin.

Persetan!! Emak sudah terlalu letih menanggung hidupku. Takan ku bebani Pundaknya yang sudah terlalu tua. Akan kubuka mata dunia, lengan kecilku akan mampu menanggung kebutukan takdirku sendiri, akan pendidikan.

Rani kembali menyatu bersama adonan tepung dan potongan-potongan pisangnya disertai berbagai wacana yang memenuhi benaknya.
******

“ ko’ buru-buru, Ran?” sapaan Hanifah menghentikan langkahnya menyusuri koridor itu.
“ eh iya nih, aku mau ke Bu Barno.” Jawab Rani.
“ ngapain?”
“ biasa, ngurusin kerang.” Jawab Rani singkat, langkahnya kembali teratur, terdidik rapih untuk segera menuntaskan koridor sekolah.

Maaf kawan, masih ada selusur masa depan yang harus ku taklukan. Setiap detik yang akan kuhabiskan menikmati masa remaja bersama kalian senilai dengn sejengkal hidup yang akan kuberikan untuk Emak.

Butiran molekul yang pembentuk terik, gemuruh angin sore, serta kelamnya angin malam selalu menemani perjuangan Rani. Laksana penjelajah ruang dan waktu, Rani berpindah tempat dalam hitungan beberapa menit. Berkeliling membawa jajanan tradisional yang di buat Emaknya, Mengurusi industri kerang rumahan milik Bu Barno, menjajakan lembaran berita buram diantara celah-celah kendaraan yang dihentikan lampu merah, semua Ia lakukan untuk menebus beban pendidikannya. 3 bulan SPP.
*******

Jam pasir yang berisi butiran kesempatan mendapat hidup yang lebih baik itu menguap, melewati lengkung terakhir. Habis sudah tengat waktu yang diberikan kepala sekolahnya. Habis sudah kesempatannya mengumpulkan rupiah sebanyak 250 ribu. Ia menengadah, gemerincing rupiah yang dihasilkan perasan keringatnya hanya berjumlah 149 ribu rupiah. Jantungnya berderik, matanya lurus, nanar menyaksikan hiruk pikuk alam yang enggan mengerti keterbatasannya.

Bulir-bulir bening mengalir membentuk kawah keputus-asaan, membasahi pipinya yang tertutup debu. Tangisnya pecah, menandakan penyerahan terhadap takdir yang akan menyambutnya esok hari.

Tuhan, saksikanlah keteguhanku menjaga kebahagiaan Emak. Biarlah kulepas semua kenikmatan yang dijanjikan pendidikan, demi Emak. Akan kuhadapi serpihan-serpihan takdirku yang lain, bermodalkan tekad dan senyum Emak. Aku menyerah.

Tangis membawanya pulang, kembali pada Emak dan ketiga adiknya. Kembali pada berakhirnya impian Emak punya anak sarjana, kembali kepada titik beku antara Ia dan kebuasan pendidikan.
“ rani, kemana saja kamu?” tanya Emak.

Derit pintu mengiringi kepulangannya. Mencium tangan Emak dan menyaksikan betapa sesuatu yang lain, sangat lain. Terhidang di antara kursi-kursi reot yang mengisi ruang tamu sempit itu. Irma, Ratih dan Hanifah, teman sekelas Rani, duduk di sudut ruangan.
“ ada apa ini ?” gumam Rani dalam hati.
“ duduk dulu, Nak,”

Emak membimbing Rani duduk di sampingnya. Rani sibuk membaca berbagai ekspresi yang dipancarkan seluruh penghuni ruangan tersebut. apa yang terjadi?
“ Ran, kita kesini Cuma mau nyampein ini.” Hanifah, gadis manis berkerudung putih menyerahkan sebuah amplop putih, yang terdengar bergemericik.
“ apa nih, Han?” tanya Rani, belum dapat menjamah apa yang sedang terjadi.
“ itu amanat dari temen-temen sekelas, Ran,” jawab Irma “ buka dech.” Lanjutnya.

Jemarinya bergetar ketika membuka simpul sederhana yang membelit benda hitam menggelembung itu. Logikanya seakan menolak apa yang diekspektasikan asanya.
“ apa ini !” pekik rani. Inderanya menyangsikan apa yang baru saja ditangkap matanya, amplop putih itu berisi bulatan dan lembaran benda yang diharapkannya. Rupiah.
“ ini uang kita, Ran. Tapi sekarang jadi uang kamu. Kamu ‘ngga pernah cerita apa-apa ke kita, tapi kita tau semuanya, Ran.” Jawab Ratih, seraya mendekati Rani yang duduk tidak jauh darinya.
“ iya, Ran. Hari senen kita UAS, uang ini pake’ buat bayar SPP ya.. sayang kalo kamu berenti di tengah jalan.” Tambah Hanifah.
“ hehehe.. sori nihh uangnya lecek, baru keluar dari celengan sihh,” jawab Ratih.

Gelombang asa yang tiba-tiba menghantamnya, membuatnya tergagu mengahdapi semua rentetan takdir ini. Bibirnya mengelu, menggumamkan sesuatu yang Ia sendiri tak mampu menginterpretasikannya. Lelehan suka-duka kembali membasahi pipinya yang masih berdebu, Ia menangis. Air matanya mengalir deras, sangat deras dan menjadi semakin tak terkendali. Ia melahap semua menu lezat yang dikaruniakan Tuhan, senyum Emak sebagai hidangan pembuka, serta senyum sahabat-sahabat tercintanya sebagai hidangan penutup.

Tuhan, seporsi doaku telah kau jawab. Sepotong asaku telah kau beri jalan. Terimakasih. Dan ternyata, masa sekolah bukan melulu tentang keletihanku, ada makna lain. Makan lain yang coba Kau ajarkan melalui senyum mereka.

Masa sekolah bukan melulu tentang dinamika dunia remaja, setidaknya untuk Rani, masa sekolah adalah masa dimana Ia harus menyatu bersama kepenatan, mencari gemerincing rupiah yang akan meringankan gelembung beban di pundak sang Emak. Lembaran putih catatan takdirnya, dihiasi oleh noktah kecoklatan yang terbentuk oleh peluh, dan terfermentasi oleh keadaan.
“ bulan depan ujian akhir, kalian Bapak panggil ke kantor karena kalian sudah ‘nunggak SPP selama 3 bulan. Kalo sampai bulan depan kalian tidak melunasinya, terpaksa Bapak tidak mengijinkan kalian ikut UAS.”

Sengatan listrik ribuan volt mengalir membekukan jantung Rani. Membuatnya berhenti bergerak untuk sepersekian detik kemudian bergerak kembali dalam bentuk dentuman-dentuman besar pengabar duka.
******

Adonan tepung putih yang Ia balurkan kepada berpotong-potong pisang menjadi saksi gelombang kelam yang terpancar di matanya. Fokus pandangannya tertuju pada satu titik, dimana seorang wanita paruh baya tampak tengah bergulat dengan denting pisau dan sayur-mayur. Butiran peluh menghiasi wajahnya, kuyu. Helaian rambutnya yang mulai memutih terlepas dari ikatan kusam di belakang kepalanya. Lengan tuanya, dipenuhi gurat-gurat keletihan, tak henti memotong aneka remah hijau yang ada dihadapannya. Kematian sang suami lima tahun silam, merubahnya menjadi srikandi yang harus berjuang menghidupi keempat anaknya, membusurkan panah keinginan dalam ranah takdir. Rani mendesah, potongan duka yang didapatkannya sehari silam Ia simpan rapih, enggan ia sajikan untuk melengkapi kepenatan Emaknya.

Kata-kata kepala sekolah kembali terngiang di benaknya, betapa ia harus segera melunasi seluruh kekurangan biaya sekolah, dan betapa ia harus segera memberitahukan Emaknya. Sesegera mungkin.

Persetan!! Emak sudah terlalu letih menanggung hidupku. Takan ku bebani Pundaknya yang sudah terlalu tua. Akan kubuka mata dunia, lengan kecilku akan mampu menanggung kebutukan takdirku sendiri, akan pendidikan.

Rani kembali menyatu bersama adonan tepung dan potongan-potongan pisangnya disertai berbagai wacana yang memenuhi benaknya.
*****

“ ko’ buru-buru, Ran?” sapaan Hanifah menghentikan langkahnya menyusuri koridor itu.
“ eh iya nih, aku mau ke Bu Barno.” Jawab Rani.
“ ngapain?”
“ biasa, ngurusin kerang.” Jawab Rani singkat, langkahnya kembali teratur, terdidik rapih untuk segera menuntaskan koridor sekolah.

Maaf kawan, masih ada selusur masa depan yang harus ku taklukan. Setiap detik yang akan kuhabiskan menikmati masa remaja bersama kalian senilai dengn sejengkal hidup yang akan kuberikan untuk Emak.

Butiran molekul yang pembentuk terik, gemuruh angin sore, serta kelamnya angin malam selalu menemani perjuangan Rani. Laksana penjelajah ruang dan waktu, Rani berpindah tempat dalam hitungan beberapa menit. Berkeliling membawa jajanan tradisional yang di buat Emaknya, Mengurusi industri kerang rumahan milik Bu Barno, menjajakan lembaran berita buram diantara celah-celah kendaraan yang dihentikan lampu merah, semua Ia lakukan untuk menebus beban pendidikannya. 3 bulan SPP.
*****

Jam pasir yang berisi butiran kesempatan mendapat hidup yang lebih baik itu menguap, melewati lengkung terakhir. Habis sudah tengat waktu yang diberikan kepala sekolahnya. Habis sudah kesempatannya mengumpulkan rupiah sebanyak 250 ribu. Ia menengadah, gemerincing rupiah yang dihasilkan perasan keringatnya hanya berjumlah 149 ribu rupiah. Jantungnya berderik, matanya lurus, nanar menyaksikan hiruk pikuk alam yang enggan mengerti keterbatasannya.

Bulir-bulir bening mengalir membentuk kawah keputus-asaan, membasahi pipinya yang tertutup debu. Tangisnya pecah, menandakan penyerahan terhadap takdir yang akan menyambutnya esok hari.

Tuhan, saksikanlah keteguhanku menjaga kebahagiaan Emak. Biarlah kulepas semua kenikmatan yang dijanjikan pendidikan, demi Emak. Akan kuhadapi serpihan-serpihan takdirku yang lain, bermodalkan tekad dan senyum Emak. Aku menyerah.

Tangis membawanya pulang, kembali pada Emak dan ketiga adiknya. Kembali pada berakhirnya impian Emak punya anak sarjana, kembali kepada titik beku antara Ia dan kebuasan pendidikan.
“ rani, kemana saja kamu?” tanya Emak.

Derit pintu mengiringi kepulangannya. Mencium tangan Emak dan menyaksikan betapa sesuatu yang lain, sangat lain. Terhidang di antara kursi-kursi reot yang mengisi ruang tamu sempit itu. Irma, Ratih dan Hanifah, teman sekelas Rani, duduk di sudut ruangan.
“ ada apa ini ?” gumam Rani dalam hati.
“ duduk dulu, Nak,”

Emak membimbing Rani duduk di sampingnya. Rani sibuk membaca berbagai ekspresi yang dipancarkan seluruh penghuni ruangan tersebut. apa yang terjadi?
“ Ran, kita kesini Cuma mau nyampein ini.” Hanifah, gadis manis berkerudung putih menyerahkan sebuah amplop putih, yang terdengar bergemericik.
“ apa nih, Han?” tanya Rani, belum dapat menjamah apa yang sedang terjadi.
“ itu amanat dari temen-temen sekelas, Ran,” jawab Irma “ buka dech.” Lanjutnya.

Jemarinya bergetar ketika membuka simpul sederhana yang membelit benda hitam menggelembung itu. Logikanya seakan menolak apa yang diekspektasikan asanya.
“ apa ini !” pekik rani. Inderanya menyangsikan apa yang baru saja ditangkap matanya, amplop putih itu berisi bulatan dan lembaran benda yang diharapkannya. Rupiah.
“ ini uang kita, Ran. Tapi sekarang jadi uang kamu. Kamu ‘ngga pernah cerita apa-apa ke kita, tapi kita tau semuanya, Ran.” Jawab Ratih, seraya mendekati Rani yang duduk tidak jauh darinya.
“ iya, Ran. Hari senen kita UAS, uang ini pake’ buat bayar SPP ya.. sayang kalo kamu berenti di tengah jalan.” Tambah Hanifah.
“ hehehe.. sori nihh uangnya lecek, baru keluar dari celengan sihh,” jawab Ratih.

Gelombang asa yang tiba-tiba menghantamnya, membuatnya tergagu mengahdapi semua rentetan takdir ini. Bibirnya mengelu, menggumamkan sesuatu yang Ia sendiri tak mampu menginterpretasikannya. Lelehan suka-duka kembali membasahi pipinya yang masih berdebu, Ia menangis. Air matanya mengalir deras, sangat deras dan menjadi semakin tak terkendali. Ia melahap semua menu lezat yang dikaruniakan Tuhan, senyum Emak sebagai hidangan pembuka, serta senyum sahabat-sahabat tercintanya sebagai hidangan penutup.

Tuhan, seporsi doaku telah kau jawab. Sepotong asaku telah kau beri jalan. Terimakasih. Dan ternyata, masa sekolah bukan melulu tentang keletihanku, ada makna lain. Makan lain yang coba Kau ajarkan melalui senyum mereka.

Masa sekolah bukan melulu tentang dinamika dunia remaja, setidaknya untuk Rani, masa sekolah adalah masa dimana Ia harus menyatu bersama kepenatan, mencari gemerincing rupiah yang akan meringankan gelembung beban di pundak sang Emak. Lembaran putih catatan takdirnya, dihiasi oleh noktah kecoklatan yang terbentuk oleh peluh, dan terfermentasi oleh keadaan.
“ bulan depan ujian akhir, kalian Bapak panggil ke kantor karena kalian sudah ‘nunggak SPP selama 3 bulan. Kalo sampai bulan depan kalian tidak melunasinya, terpaksa Bapak tidak mengijinkan kalian ikut UAS.”

Sengatan listrik ribuan volt mengalir membekukan jantung Rani. Membuatnya berhenti bergerak untuk sepersekian detik kemudian bergerak kembali dalam bentuk dentuman-dentuman besar pengabar duka.
******

Adonan tepung putih yang Ia balurkan kepada berpotong-potong pisang menjadi saksi gelombang kelam yang terpancar di matanya. Fokus pandangannya tertuju pada satu titik, dimana seorang wanita paruh baya tampak tengah bergulat dengan denting pisau dan sayur-mayur. Butiran peluh menghiasi wajahnya, kuyu. Helaian rambutnya yang mulai memutih terlepas dari ikatan kusam di belakang kepalanya. Lengan tuanya, dipenuhi gurat-gurat keletihan, tak henti memotong aneka remah hijau yang ada dihadapannya. Kematian sang suami lima tahun silam, merubahnya menjadi srikandi yang harus berjuang menghidupi keempat anaknya, membusurkan panah keinginan dalam ranah takdir. Rani mendesah, potongan duka yang didapatkannya sehari silam Ia simpan rapih, enggan ia sajikan untuk melengkapi kepenatan Emaknya.

Kata-kata kepala sekolah kembali terngiang di benaknya, betapa ia harus segera melunasi seluruh kekurangan biaya sekolah, dan betapa ia harus segera memberitahukan Emaknya. Sesegera mungkin.

Persetan!! Emak sudah terlalu letih menanggung hidupku. Takan ku bebani Pundaknya yang sudah terlalu tua. Akan kubuka mata dunia, lengan kecilku akan mampu menanggung kebutukan takdirku sendiri, akan pendidikan.

Rani kembali menyatu bersama adonan tepung dan potongan-potongan pisangnya disertai berbagai wacana yang memenuhi benaknya.
******

“ ko’ buru-buru, Ran?” sapaan Hanifah menghentikan langkahnya menyusuri koridor itu.
“ eh iya nih, aku mau ke Bu Barno.” Jawab Rani.
“ ngapain?”
“ biasa, ngurusin kerang.” Jawab Rani singkat, langkahnya kembali teratur, terdidik rapih untuk segera menuntaskan koridor sekolah.

Maaf kawan, masih ada selusur masa depan yang harus ku taklukan. Setiap detik yang akan kuhabiskan menikmati masa remaja bersama kalian senilai dengn sejengkal hidup yang akan kuberikan untuk Emak.

Butiran molekul yang pembentuk terik, gemuruh angin sore, serta kelamnya angin malam selalu menemani perjuangan Rani. Laksana penjelajah ruang dan waktu, Rani berpindah tempat dalam hitungan beberapa menit. Berkeliling membawa jajanan tradisional yang di buat Emaknya, Mengurusi industri kerang rumahan milik Bu Barno, menjajakan lembaran berita buram diantara celah-celah kendaraan yang dihentikan lampu merah, semua Ia lakukan untuk menebus beban pendidikannya. 3 bulan SPP.
*****

Jam pasir yang berisi butiran kesempatan mendapat hidup yang lebih baik itu menguap, melewati lengkung terakhir. Habis sudah tengat waktu yang diberikan kepala sekolahnya. Habis sudah kesempatannya mengumpulkan rupiah sebanyak 250 ribu. Ia menengadah, gemerincing rupiah yang dihasilkan perasan keringatnya hanya berjumlah 149 ribu rupiah. Jantungnya berderik, matanya lurus, nanar menyaksikan hiruk pikuk alam yang enggan mengerti keterbatasannya.

Bulir-bulir bening mengalir membentuk kawah keputus-asaan, membasahi pipinya yang tertutup debu. Tangisnya pecah, menandakan penyerahan terhadap takdir yang akan menyambutnya esok hari.

Tuhan, saksikanlah keteguhanku menjaga kebahagiaan Emak. Biarlah kulepas semua kenikmatan yang dijanjikan pendidikan, demi Emak. Akan kuhadapi serpihan-serpihan takdirku yang lain, bermodalkan tekad dan senyum Emak. Aku menyerah.

Tangis membawanya pulang, kembali pada Emak dan ketiga adiknya. Kembali pada berakhirnya impian Emak punya anak sarjana, kembali kepada titik beku antara Ia dan kebuasan pendidikan.
“ rani, kemana saja kamu?” tanya Emak.

Derit pintu mengiringi kepulangannya. Mencium tangan Emak dan menyaksikan betapa sesuatu yang lain, sangat lain. Terhidang di antara kursi-kursi reot yang mengisi ruang tamu sempit itu. Irma, Ratih dan Hanifah, teman sekelas Rani, duduk di sudut ruangan.
“ ada apa ini ?” gumam Rani dalam hati.
“ duduk dulu, Nak,”

Emak membimbing Rani duduk di sampingnya. Rani sibuk membaca berbagai ekspresi yang dipancarkan seluruh penghuni ruangan tersebut. apa yang terjadi?
“ Ran, kita kesini Cuma mau nyampein ini.” Hanifah, gadis manis berkerudung putih menyerahkan sebuah amplop putih, yang terdengar bergemericik.
“ apa nih, Han?” tanya Rani, belum dapat menjamah apa yang sedang terjadi.
“ itu amanat dari temen-temen sekelas, Ran,” jawab Irma “ buka dech.” Lanjutnya.

Jemarinya bergetar ketika membuka simpul sederhana yang membelit benda hitam menggelembung itu. Logikanya seakan menolak apa yang diekspektasikan asanya.
“ apa ini !” pekik rani. Inderanya menyangsikan apa yang baru saja ditangkap matanya, amplop putih itu berisi bulatan dan lembaran benda yang diharapkannya. Rupiah.
“ ini uang kita, Ran. Tapi sekarang jadi uang kamu. Kamu ‘ngga pernah cerita apa-apa ke kita, tapi kita tau semuanya, Ran.” Jawab Ratih, seraya mendekati Rani yang duduk tidak jauh darinya.
“ iya, Ran. Hari senen kita UAS, uang ini pake’ buat bayar SPP ya.. sayang kalo kamu berenti di tengah jalan.” Tambah Hanifah.
“ hehehe.. sori nihh uangnya lecek, baru keluar dari celengan sihh,” jawab Ratih.

Gelombang asa yang tiba-tiba menghantamnya, membuatnya tergagu mengahdapi semua rentetan takdir ini. Bibirnya mengelu, menggumamkan sesuatu yang Ia sendiri tak mampu menginterpretasikannya. Lelehan suka-duka kembali membasahi pipinya yang masih berdebu, Ia menangis. Air matanya mengalir deras, sangat deras dan menjadi semakin tak terkendali. Ia melahap semua menu lezat yang dikaruniakan Tuhan, senyum Emak sebagai hidangan pembuka, serta senyum sahabat-sahabat tercintanya sebagai hidangan penutup.

Tuhan, seporsi doaku telah kau jawab. Sepotong asaku telah kau beri jalan. Terimakasih. Dan ternyata, masa sekolah bukan melulu tentang keletihanku, ada makna lain. Makan lain yang coba Kau ajarkan melalui senyum mereka.

Baca Juga Cerpen Persahabatan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar